23 January 2009

Kiyai itu apa?

Julukan Kiyai untuk Ulama Perlu Dihapus

    Julukan atau sebutan Kiyai atau Kiai atau Kiyahi ( كياهي)  ) sering menjadi pertanyaan orang. Apa sebenarnya makna Kiyai itu. Dari mana asal muasal nama Kiyai itu. Dan apa sebenarnya ciri-ciri serta hal-hal yang harus dilakukan oleh para Kiyai.

   Pertanyaan itu lebih mencuat lagi ketika orang-orang yang disebut Kiyai atau para Kiyai ada yang dinilai berbuat yang di luar jalur kebiasaan, misalnya ada yang  patut diduga sebagai provokator, ada yang jadi pengipas-ngipas suasana dengan memanasi anak buah untuk melawan terhadap lawan-lawan politik, ada yang memanas-manasi untuk mendukung Presiden Gus Dur / Abdurrahman Wahid karena presidennya dari golongan sang Kiyai itu, yaitu Nahdlatul Ulama dengan partainya PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). Tidak jarang pula ada Kiyai yang suka kumpul-kumpul sesamanya, hingga disebut Kiyai khos (khusus) yang kaitannya erat dengan soal dukung mendukung terhadap kursi presiden yang sedang diduduki oleh golongannya.

    Tetapi di balik itu ada Kiyai dogdeng (kebal) yang suka sesumbar bahwa wadyabalanya rata-rata jadug (sakti, tidak mempan senjata tajam). Ada juga Kiyai yang dari zaman Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto sukanya mendekat-dekat dengan penguasa, bahkan pernah bersama-sama puluhan Kiyai dipimpin Nur Iskandar SQ menghadiahi emas beberapa kilogram kepada Presiden Soeharto dengan dalih untuk mengatasi krisis ekonomi/ moneter. Setelah para Kiyai itu sowan (hadir dengan penuh ketundukan) ke tempat Presiden Soeharto, justru tak lama kemudian sang Presiden dipaksa turun dengan didemonstrasi oleh puluhan ribu mahasiswa selama dua minggu, hingga ia menyatakan turun dari kursi kepresidenan 1998.

   Ada juga Kiyai yang mempelopori untuk disahkannya asas tunggal pancasila hingga kumpulan para Kiyai itu berbangga diri bahwa pihak mereka dengan Jam'iyah NU-nya adalah orang-orang yang nomor satu dalam hal menggulkan (mensukseskan untuk dipaksakannya) asas tunggal pancasila terhadap Ummat Islam. Padahal, Ummat Islam pada umumnya sangat kesulitan menghadapi tekanan Soeharto yang semakin terasa berpihak kepada palangis atau kaum Salib yang makin menjadi tirani minoritas dengan pengaruh Jendral Leonardo Benny Murdani saat itu dan menekan Islam selama hampir 30-an tahun. Sedang asas tunggal pancasila itu dinilai oleh kalangan Islam non NU dan Golkar sebagai salah satu jenis tekanan Soeharto terhadap Islam.  Kiyai-Kiyai NU yang menggulkan asas tunggal pancasila itu di antaranya dipimpin Kiyai Haji Ahmad Siddiq (mendiang yang dulunya suka musik rock barat, satu kebiasaan yang jauh dari adab orang alim Islam, yang kitab-kitabnya menyebut sankres alias musik itu haram). Kemudian "jasanya" itu dibawa mati. Dan mereka yang masih hidup, mereka tidak merasa malu apalagi minta maaf kepada umat ketika Umat Islam bersyukur dan  merasa lega saat asas tunggal pancasila itu ditendang oleh MPR dalam sidangnya 1998, setelah pemerintahan Soeharto jatuh, dan pemerintahan diserahkan kepada wakilnya, Prof Ir Baharuddin Jusuf Habibie. Sikap para Kiyai itu kalau diperbandingkan, masih agak mending Amien Rais (Ketua MPR) yang walaupun tanpa menyandang gelar Kiyai namun secara jantan dia meminta maaf kepada bangsa Indonesia atas "ijtihad politiknya" (menurut istilah dia) yang salah ketika dulunya memprakarsai untuk memilih Gus Dur/ Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden yang ternyata setelah dijalani, kepemimpinan Gus Dur menurut Amien Rais menyebabkan Amien minta maaf kepada bangsa atas salah pilihnya itu. Hingga Amien Rais pun tampak bertanggung jawab terhadap bangsa Indonesia untuk berupaya bagaimana agar Gus Dur turun dari jabatan presiden. Sekalipun sikap Amien Rais itu jelas sikap politik, namun di situ tampak terus terang mengaku bahkan minta maaf atas kesalahannya, dan pula mau berusaha untuk menambal kesalahannya.

(Dalam hal ini para pembaca tidak usah buru-buru menyangka bahwa penulis pro Amien Rais, hingga membela-bela dia. Tidak. Karena, buku yang mengkritik Amien Rais berjudul Kekeliruan Logika Amien Rais pun telah penulis ujudkan dan cetak serta edarkan sebelum kami tulis buku Bahaya Pemikiran Gus Dur. Jadi tidak ada itu membela-bela Amien Rais segala.  Kepentingan menampilkan sikap Amien Rais itu hanya untuk perbandingan antara sikap para Kiyai NU pendukung asas tunggal pancasila yang sampai dikenal sebagai nomor wahid, yang kemudian tidak mau mengakui kesalahan apalagi minta maaf, dan sikap Amien Rais yang terang-terangan secara jantan mengakui kesalahan dan minta maaf  kepada bangsa Indonesia dalam kasus keterlanjurannya menjagokan Gus Dur sebagai presiden. Padahal resikonya jauh lebih berat bagi Amien Rais, sampai-sampai dihalalkan darahnya oleh Nur Iskandar SQ dan sering diboikot di Jawa Timur. Sementara itu, seandainya para Kiyai NU meminta maaf atas kengototannya menjadi pendukung pertama dipaksakannya asas tunggal pancasila, sebenarnya tidak ada resiko apa-apa, toh orang yang dijilati yaitu Presiden Soeharto sudah tidak berkuasa lagi. Itu saja persoalannya. Tapi Pak Amien Rais tidak usah bangga dengan perbandingan ini).

   Pengertian Kiyai

    Dalam buku Kiai Penghulu Jawa, Peranannya di Masa Kolonial, Drs H Ibnu Qoyim Isma'il MS menjelaskan sebagai berikut:

   Di tengah perkembangan masyarakat Indonesia pada umumnya dijumpai beberapa gelar sebutan yang diperuntukkan bagi ulama. Misalnya, di daerah Jawa Barat (Sunda) orang menyebutnya Ajengan, di wilayah Sumatera Barat disebut Buya, di daerah Aceh dikenal dengan panggilan Teungku, di Sulawesi Selatan dipanggil dengan nama Tofanrita, di daerah Madura disebut dengan Nun atau Bendara yang disingkat Ra, dan di Lombok atau seputar daerah wilayah Nusa Tenggara orang memanggilnya dengan Tuan Guru.

   Khusus bagi masyarakat Jawa, gelar yang diperuntukkan bagi ulama anatara lain Wali. Gelar ini biasanya diberikan kepada  ulama yang sudah mencapai tingkat yang tinggi, memiliki kemampuan pribadi yang luar biasa.[1]  Sering pula para wali ini dipanggil dengan Sunan[2] (Susuhunan), seperti halnya para raja. Gelar lainnya ialah Panembahan, yang diberikan kepada ulama yang lebih ditekankan pada aspek spiritual, juga menyangkut segi kesenioran, baik usia maupun nasab (keturunan). Hal ini untuk menunjukkan bahwa sang ulama tersebut mempunyai kekuatan spiritual yang tinggi.[3]

   Selain itu, terdapat sebutan Kiai, yang merupakan gelar kehormatan bagi para ulama pada umumnya. Oleh karena itu, sering dijumpai di pedesaan Jawa panggilan Ki Ageng atau Ki Ageng/ Ki Gede, juga Kiai Haji.[4]

    Gelar Kiai sebenarnya cukup terhormat. Namun di zaman kini, di saat buku ini ditulis, Maret 2001M/ Dzulhijjah 1421H, banyak para Kiai yang terjun ke dunia politik praktis, serta tersebar di masyarakat berbagai ucapan bahkan lakon Kiyai yang sebenarnya kurang sesuai dengan gelar kehormatan itu. Maka akibatnya timbul pertanyaan, apa sebenarnya Kiyai itu, dan apa pula kriterianya.

    Untuk menjawab pertanyaan semacam itu, di samping sudah kita ketahui uraian di atas, perlu pula kita simak jawaban yang muncul dari kalangan ulama sendiri tentang julukan Kiai itu. Di antaranya apa yang dikemukakan oleh Prof Dr Hamka dalam menjawab pertanyaan orang tentang Kiyai Dukun. Di dalam hal ini Hamka menulis:

     "...kami menyerukan kepada penanya dan saudara-saudara yang berminat supaya dicarilah Kiyai-kiyai yang benar-benar mengerti soalnya (soal agama Islam dengan aneka rangkaian ajarannya, di antaranya tentang ayat-ayat yang boleh dijadikan do'a-doa untuk menolak penyakit, pen) lalu pelajari  sehingga bisa jadi tabib untuk diri sendiri. Karena kalimat Kiyai itu bukanlah artinya semata-mata untuk orang yang benar-benar telah mengerti Agama Islam dengan segala cabangnya.

   Ada Kiyai berarti Guru Agama Islam yang telah luas pandangannya.

   Ada Kiyai berarti pendidik, walaupun pendidik Nasional. (Kalau yang dimaksud Hamka itu misanya Hajar Dewantara, maka biasanya disebut Ki, bukan Kiyai; tetapi sebutan Ki itu kadang juga sama dengan Kiyai, seperti Ki Dalang itu sama dengan Kiyai Dalang, pen).

    Ada Kiyai berarti Pak Dukun.

    Di Kalimantan, Kiyai (sebelum perang) berarti District-hoofd (Wedana).

   Di Padang (sebelum perang), Kiyai artinya "Cino Tuo" (Orang Tionghoa yang telah berumur).

   Gamelan Sekaten di Yogya bernama Kiyai Sekati dan Nyi Sekati.

   Dalang  yang ahli disebut Ki Dalang, atau Kiyai Dalang.

   Bendera Keramat yang dikeluarkan setiap ada bala bencana mengancam dalam negeri Yogyakarta bernama Kiyai Tunggul Wulung.[5]

    Meskipun Hamka mampu menjelaskan kegunaan kata Kiyai seperti tersebut, namun dia terus terang mengungkapkan, "kami tidak tahu dari Bahasa apa asalnya kata Kiyai. Tetapi kami dapat memastikan bahwa kata itu menyatakan Hormat kepada seseorang. Cuma kepada siapa penghormatan Kiyai itu harus diberikan, itulah yang berbeda-beda menurut kebiasaan satu-satu negeri.

A.     Di seluruh pulau Jawa yang terdiri dari tiga suku besar, yaitu Jawa, Sunda, dan Madura ditambah dengan Palembang, kata Kiyai digunakan untuk menghormati seseorang yang dianggap Alim, Ahli Agama dan disegani.

B.     Di Kalimantan Selatan (Banjarmasin dan sekitarnya) sebelum perang, gelar Kiyai adalah pangkat yang tertinggi bagi Ambtenaar Bumiputera. Sama dengan pangkat Demang di Sumatera. Ada Kiyai kelas I, kelas II dan ada yang disebut Asisten Kiyai yang sama dengan Asisten Demang.

Bertahun-tahun lamanya Almarhum Bapak Kiyai Haji Hasan Corong jadi ketua Wilayah (Consul) Muhammadiyah daerah Kalimantan Selatan; umumnya orang di Jawa menyangka bahwa beliau adalah seorang Ulama besar, sebab di pangkal namanya ada titel "Kiyai", padahal beliau adalah pensiunan Kiyai (District-hoofd), yaitu pangkat Bumiputera yang tertinggi di Kalimantan Selatan (Banjarmasin dan sekitarnya) pada masa sebelum perang.

C.     Tetapi di Sumatera Barat, yaitu di kota-kota yang banyak didiami orang Cina (Padang, Pariaman, Padang Panjang, Bukittinggi, Payakumbuh) dan pesisir Selatan, gelar Kiyai diberikan kepada Cina yang telah tua dan dihormati. Biasanya janggut beliau dipanjangi. Di tahun 1916 kami masih mendapati seorang Cina tua di kampung Cina Padang Panjang disebut orang Kiyai Makh Thong.

D.     Rupanya kata-kata ini terdapat juga di Thailand (Siam), Ulama yang besar-besar dihormati di sana dalam kalangan orang Islam dalam menyebutnya (Guru Kriyai).[6]

Setelah kita mengetahui penjelasan Hamka itu, perlu disebutkan pula di sini bahwa masih ada pula sebutan Kiyai untuk hal-hal lain, di antaranya adalah keris atau tombak di Kraton Solo, bahkan Kiyai itu untuk menjuluki kerbau. Di Kraton Solo Jawa Tengah ada kerbau yang disebut Kiyai Slamet, yaitu kerbau yang dianggap keramat oleh orang-orang (yang tentu saja batil menurut Islam). Kebo (kerbau) yang dijuluki Kiyai Slamet itu dilepaskan secara bebas ke mana-mana setiap malam 1 Muharram, yang disebut tanggal satu Syuro. (Bulan Muharram di Jawa disebut Syuro, mungkin karena di dalam bulan Muharram itu ada hari yang penting pada hari kesepuluh, namanya 'Asyuro, hari kesepuluh Muharram, yang dalam Islam termasuk hari disunnahkannya puasa). Hingga kerbau yang dinamai Kiyai Slamet itu ke mana saja tidak diusik, bahkan sampai memakan dagangan sayuran dan sebagainya pun tidak diapa-apakan, karena menurut kepercayaan takhayul (yang menyimpang dari Islam), kerbau itu ketika makan dagangan tersebut dianggap justru akan ngrejekeni (memberi rizki atau memberkahi). Jadi Kiyai yang berupa kerbau itu telah dianggap sebagai makhluk keramat, yang tentu saja hal itu merupakan satu jenis penyimpangan yang nyerempet-nyerempet kemusyrikan.

Sementara itu upacara di Solo pula pada malam satu Syuro itu adalah "thawaf" mengelilingi benteng Mangkunegaran,  Jalan raya melingkar di sekeliling benteng Mangkunegaran (kira-kira kelilingnya sepanjang 1,5 KM) itu berubah jadi tempat orang berjalan kaki mengitari benteng dengan mulut membisu. Jadi bagai thawaf di Ka'bah, tetapi membisu. Hanya saja kalau thawaf itu waktunya kapan saja, dan yang dikelilingi adalah Ka'bah Baitulllah di Makkah, 7 kali keliling, dalam keadaan suci dari hadats sebagaimana sucinya orang yang mau shalat. Sedang "thawaf" di Mangkunegaran ini mengelilingi benteng, dan bentengnya itu di sebelah kanan (kalau Thawaf, Ka'bahnya di sebelah kiri, berputarnya berlawanan dengan jarum jam) dan berputarnya searah dengan jarum jam, waktunya hanya malam satu Syuro., dan harus "puasa" bisu, tidak berkata-kata. Kesempatan berdesakan di tengah malam itu konon digunakan pula oleh muda-mudi untuk main senggol. Antara upacara mengelilingi benteng dan dilepasnya Kerbau Kiyai Slamet ini waktunya sama, yaitu malam satu Syuro.

   Jadi ada kerbau yang dikeramatkan dengan dijuluki Kiyai Slamet, dan ada acara bid'ah menthawafi  (mengelilingi) benteng dengan mulut membisu pada malam satu Syuro. Demikianlah menurut pengamatan penulis.

   Lantas, siapa yang menjuluki Kiyai itu?

Hamka pun tidak menentukan, siapa yang berhak menjuluki Kiyai terhadap aneka macam tersebut di atas. Hamka menjawab pertanyaan orang yang ingin tahu, siapa yang berwenang menjuluki Kiyai,  sebagai berikut:

"Nampaknya tidak ada suatu ketentuan tentang siapa yang berwenang memberikan gelar Kiyai. Nampaknya apabila telah bisa disebut Kiyai, lekat sajalah gelar itu. Lantikannya yang tertentu tidak ada. Oleh sebab memberi gelar Kiyai itu tidak ada peraturannya yang tertentu dan hanya menurut kesukuan orang saja dan diterima masyarakat, maka dipanggil orang Kiyai juga menurut kebiasaan orang Jawa."[7]

   Jawaban Hamka itu dikemukakan pada tahun 1963. Pada tahun-tahun itu dan sebelumnya, ulama Jakarta atau Betawi biasanya disebut dengan Guru, misalnya Guru Mughni di Kuningan Jakarta, Guru Marzuki di Jatinegara, Guru Udin (Zainuddin) di Kalibata Pulo, Guru Amin di Kalibata dan sebagainya. Baru belakangan terbiasa menyebut ulama dengan nama Kiyai yang kadang-kadang disingkat jadi Kaha (KH, Kiyai Haji) di antaranya Kiyai Abdullah Syafi'i, menurut orang kampung Bali (Matraman) sebutannya Kiyai Duloh., yang kemudian  terkenal lewat radionya-As-Syafi'iyah, demikian pula Kiyai Thahir Rahili dengan radionya At-Thahiriyah di Kampung Melayu, kedua-duanya memiliki pesantren dan perguruan Islam. Selanjutnya ulama Betawi juga disebut Kiyai, di antaranya Kiyai Syafi'i Hazami, yang memang ulama terkemuka di kalangan masyarakat Betawi. Hanya saja sebutan Kiyai belum tentu lekat pula pada ulama Betawi. Contohnya, seorang ulama alumni Timur Tengah, yang kitab-kitabnya di antaranya tentang Madzhab Imam Syafi'i menjadi rujukan di Universitas Al-Azhar Mesir,  yaitu Dr HA Nahrawi Abdus Salam (rumahnya dekat Masjid Al-Munawar Jl Raya Pasr Mingu Pancoran Jakarta Selatan) jarang disebut Kiyai. Bahkan lebih sering dipanggil Doktor saja. Sebagaimana penulis kawakan dan budayawan Betawi H Ridwan Saidi tidak mengembel-embeli titel Kiyai dalam mengisahkan DR HA Nahrawi Absus Salam pada buku Orang Betawi dan Modernisasi Jakarta, 1994. Justru gelar Syaikh lah yang dikenakan pada ulama Betawi, walaupun memang adanya di Makkah, sebagaimana dipaparkan oleh Ridwan Saidi:

   "Jika seluruh bangsa Indonesia yang tinggal merantau di Jakarta di zaman penjajahan itu berkejar mencari kemegahan di sisi bangsa Belanda yang menjajah, mengembara ke negari Belanda, namun si anak Betawi berduyun-duyun pergi ke Mekah. Bukan berduyun ke negeri  Belanda. Sampai di Mekah mereka bukan semata-mata jadi babu atau khadam  yang duduk di tingkat bawah, melainkan  --sekurang-kurangnya—menjadi orang menengah (middenstand) yang berpengaruh. Saya teringat ketika perjanjian penyerahan Raja Ali anak Raja Husin, raja negeri Mekah yang diserang oleh Raja Ibnu Saud tahun 1925, ketika kota Jeddah sudah dikepung lama sekali, akhirnya Raja Ali mengaku kalah dan diadakan delegasi pendamai kedua belah pihak. Setengah dari syarat-syarat yang dikemukakan oleh Raja Ali ialah supaya beberapa orang besar dan ternama yang jadi hidup bertalian erat dengan Baginda (Raja Ali, pen) dibebasakan. Di antaranya ialah beberapa nama yang di ujung nama itu disebut ":Betawi": Syaikh Abdullah Betawi, Syaikh Ahmad Betawi, Syaikh Sa'id Betawi. Keturunan keluarga Betawi itu masih ada sampai sekarang (1994, pen)  dalam perlindungan Kerajaan Saudi Arabi, baik di Mekah maupun Jeddah.[8]
    Dari sini bisa difahami bahwa sebutan Kiyai untuk ulama sebenarnya di kalangan kaum Betawi kurang membudaya. Hanya saja dalam perkembangannya sebutan Kiyai itu memasyarakat pula sejak pemerintahan Soeharto yang sejak awal tampak menonjolkan budaya Jawa terutama yang berbau Kejawen, hingga nama ruangan-ruangan di gedung DPR/MPR pun diganti dengan nama dari bahasa Jawa Kuno atau bahkan Sansekerta dari India atau Hindu. Misalnya ruang Wirashaba dan sebagainya yang sulit dimengerti oleh masyarakat. Maka istilah Kiyai  untuk sebutan ulama pun yang asalnya hanya dipakai di Jawa lalu dinasionalkan atau menjadi istilah nasional. Dan tampaknya budaya munduk-munduk (sangat hormat bahkan takut) terhadap Kiyai yang budaya itu merata di Jawa rupanya menular pula kepada masyarakat selain Jawa, termasuk Betawi, sehingga julukan Kiyai itu tidak ditolak oleh ulama yang dijulukinya.

    Setelah julukan Kiyai itu memasyarakat pula di masyarakat selain Jawa, termasuk pula Betawi, lalu tumbuh gejala, keturunan Kiyai yang kemudian mengimami masjid atau apalagi memimpin pesantren maka disebut Kiyai pula, walaupun ketika bapaknya dulu masih hidup, si anak Kiyai itu tidak pernah disebut Kiyai muda, tetapi begitu bapaknya wafat, maka dia langsung dipanggil atau suka dipanggil dengan sebutan Kiyai, walaupun dari segi keilmuan maupun kegiatannya berjama'ah ke masjid tidak sebanding dengan bapaknya.

   Adapun ulama ataupun da'i yang dari keturunan Arab dan menisbatkan diri sebagai keturunan Nabi saw maka mereka bukan disebut Kiyai, tetapi Habib yang sering dijamakkan (bentuk banyak, plural) menjadi habaib. Sehingga ada  istilah "ulama dan habaib". Ulama dalam hal ini untuk para alim, guru agama yang ilmunya cukup tinggi (termasuk di dalamnya, Kiyai), namun bukan orang Arab "keturunan" Nabi saw. Sedang habib atau bentuk jamaknya (plural) Habaib adalah guru agama atau alim agama atau bahkan ulama dan "keturunan" Nabi saw. Hanya saja di kampung-kampung, asal dia bisa membaca sepotong do'a, maka sudah bisa disebut Kiyai atau kalau "keturunan" Nabi saw maka disebut Habib, dan kalau bersalaman dengan mereka maka masyarakat Betawi/ Jakarta pun menciumi tangannya.

    (Menurut Habib Abdurrahman Bukit Duri Manggarai Jakarta Selatan, untuk diciumi tangannya itu juga pakai modal, yaitu minyak wangi. Dan kadang rugi juga, kalau yang mencium tangannya itu kebetulan ingusan. Jadi sang Habi itu sudah mengeluarkan modal berupa minyak wangi, masih kena ingus pula, ucap Habib Abdurrahman Assegaf di depan para Ulama, Habaib, Kiyai, dan tokoh Islam. Ucapan itu dalam rangka marah terhadap pidato Pak Prof Dr HM Rasjidi (almarhum, wafat Januari 2001) yang menguraikan sesatnya Syi'ah, dalam pertemuan di Pesantren As-Syafi'iyah (belakangan disebut Pesantren Al-Qur'an Kiyai Haji Abdullah Syafi'i) di Pulo Air Sukabumi, Jawa Barat, 1989. Kemarahan Habib Abdurrahman itu mengagetkan para ulama yang hadir, karena tampaknya Sang Habib itu mengira bahwa Prof Rasjidi membidik para habaib dengan cara menghantam Syi'ah. Kesalah fahaman itu bermula dari pidato singkat Dr HA Nahrawi Abdus Salam yang mengira Prof Rasjidi menghantam Syi'ah itu untuk menyindir orang yang mengukuhi madzhab, dalam hal ini Syafi'iyah. Akibatnya pertemuan itu jadi kacau balau suasananya secara persaaan. Wajah-wajah para ulama itu tampak saling kikuk, dan sampai menjelang wafatnya pun Prof Rasjidi masih terkenang dan  mengaku kepada penulis bahwa dirinya diplengosi (dihadapi dengan berpaling) oleh tuan rumah saat itu, setelah adanya pidato-pidato yang salah faham itu). 

   Tampaknya tradisi munduk-munduk (sangat hormat dan sangat patuh) terhadap Kiyai di Jawa tidak jauh berbeda dengan yang terjadi terhadap guru / ulama dan habib/ habaib di Betawi/ Jakarta. Maka orang Betawi yang tadinya tidak mengenal atau masyarakat kurang kenal dengan istilah Kiyai, kemudian sejak tahun 1970-an sebagian ulamanya tampaknya ridho' untuk disebut Kiyai. Sementara itu untuk para habaib tetap bernama habib, sebagai pembeda antara yang "keturunan" Nabi saw dan yang 'ajam (non Arab). Sedang tradisi cium tangan dan munduk-munduknya tetap "dikukuhkan".

    Kini, setelah muncul Kiyai-kiyai yang dipandang oleh masyarakat sebagai provokator dan sebagainya, bahkan ada yang kena skandal, apakah julukan Kiyai yang tadinya tidak melekat di kalangan Ulama Betawi/ Jakarta itu harus mereka kembalikan ke asalnya yaitu Guru atau bahkan Ulama atau Alim saja? Istilah "Ulama Betawi" sebenarnya sudah melekat dalam bahasa masyarakat. Sedang istilah Kiyai sebenarnya selalu jadi tanda tanya. Karena, di samping munculnya itu dari Jawa (biasanya di Jakarta, yang disebut Jawa itu tidak termasuk Jakarta), juga istilah Kiyai itu mengandung aneka macam makna, dari kerbau yang dianggap keramat sampai bendera yang dikeramatkan, atau bahkan dukun santet ataupun tukang sihir. Walaupun memang masih diakui pula istilah Kiyai itu ada yang untuk ulama betulan.

    Sebutan Kiyai mungkin lebih diminati dan ni'mati

    Kalau ditilik dari segi praktis dan pragmatisnya, bahwa Kiyai itu yang di-munduk-munduki atau sangat dihormati dan ditaati serta ditakuti, maka tampaknya justru sebutan Kiyai itulah yang  lebih mereka minati. Di samping masyarakat sudah bisa diharapkan akan tunduk lagi hormat kepada Sang Kiyai, toh pada masa akhir-akhir ini sosok-sosok Kiyai itu seolah telah bebas berbuat, termasuk dalam berbuat cabul  dan berbohong sana sini atau berakhlaq tidak nggenah. (Kadang keburukan-keburukannya itu bahkan ada pihak-pihak yang membelanya dengan dalih maqomnya/ tingkatnya sudah mencapai derajat wali, yang menurut faham sesat mereka adalah terbebas dari segala hukum dan hukuman). Sehingga Kiyai model itu walaupun sudah sedemikian buruknya menurut agama, namun penghormatan tetap didapat, sedang penjagaan diri sebagai orang yang wara' (sangat hati-hati terhadap yang makruh, apalagi yang haram) sudah tercabut dari "keharusan". Kan malah lebih gampang. Kenapa repot-repot harus mengembalikan Istilah Kiyai kepada istilah yang berat-berat yaitu "Guru" apalagi Ulama/ Alim ataupun Syaikh. Kan itu bikin capek (payah) saja.

    Begitulah kira-kira, kalau kita mau ber-suud dhon (buruk sangka) kepada mereka. Walaupun tentu saja hal itu hanya berlaku bagi Kiyai-kiyai gadungan, yang istilah terkenalnya dalam terminologi Islam adalah ulama suu' (yaitu ulama yang jahat), yang banyak dikecam oleh ulama salaf (terdahulu). Ulama Suu' itu di antaranya adalah ulama-ulama yang suka masuk keluar ke istana atau pintu penguasa, bahkan ulama seperti itu mereka sebut sebagai maling (lisshun لص ). Tetapi rupanya kini jumlahnya makin banyak, padahal kitab-kitab yang mengecam tingkah polah itu masih berada pada tangan-tangan mereka pula, sekalipun tidak lagi diajarkan kepada para santrinya, karena ulama tersebut cukup mengajari berdemo bersama antek-antek komunis untuk merusak dan menghancurkan  masjid, madrasah, panti asuhan milik Muslimin yang dulunya ketika memberantas Bid'ah, Khurofat, dan syirik yang jadi "kareman" (kegemaran) si perusak ini, dulu  tidak punya alasan  untuk menolak pemberantasan bid'ah itu dengan cara menghancurkan masjid-masjid pemberantas bid'ah. Nah sekarang mumpung kelompok perusak ini sedang ada setitik alasan yang dibuat-buat, yakni membela Kiyainya yang jadi presiden namun ingin didongkel oleh orang-orang yang di antaranya adalah kelompok anti Bid'ah, maka masjid ataupun sarana da'wah Islam yang dimiliki kelompok anti Bid'ah pun kesempatan untuk dihancurkan oleh mereka yang "karem" (gemar) bid'ah itu bersama kelompok anti Islam bahkan anti Tuhan. Lalu mereka ramai-ramai cuci tangan dengan ucapan-ucapan yang mereka bikin-bikin. Padahal sebelumnya, santer terdengar, kalau Gus Dur diturunkan dari jabatan Presiden maka mereka mau mengerahkan massa. Namun setelah Gus Dur benar-benar digoyang oleh DPR, lalu massa benar-benar terkerahkan dan sampai mengadakan perusakan di mana-mana, lalu secepatnya mereka cuci tangan dengan ucapan. Misalnya ucapan, Kami bersedia membantu satu miliar Rupiah kepada gedung-gedung atau sarana milik Muhammadiyah apabila benar-benar terbukti bahwa yang merusaknya itu dari kalangan NU kami. Keruan saja pihak Muhammadiyah menolak sumbangan yang bersyarat itu. Karena, menurut Muhammadiyah, kalau memang mau menyumbang ya tidak usah bersyarat seperti itu. Karena yang namanya pembuktian itu harus lewat pengadilan.

    Tidak puas hanya merusak masjid dan sebagainya, mereka juga beramai-ramai menebangi ratusan pohon pinggir jalan untuk ditaruh di jalan-jalan guna menghalangi orang lewat, agar para santri-santri dan masyarakat yang dikerahkan untuk menghalangi jalan itu imannya habis punah, Tidak cukup hanya dicekoki bid'ah, khurofat, dan takhayul, tapi imannya perlu dikikis benar-benar. Soalnya dalam Islam, justru bagian dari iman itu di antaranya adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, namun kini di antara ulama suu' atau orang-orang yang belajarnya kepada ulama suu', mereka ramai-ramai menebangi ratusan pohon di Jawa Timur untuk ditlalangkan guna menghalangi jalan-jalan raya. Peristiwa yang merusak dan merugikan bagi umum itu terjadi di Jawa Timur dalam rangka 'ashobiyah (fanatik buta), yaitu membela Presiden Gus Dur, agar tidak diturunkan dari jabatannya, Februari 2001M. Dalam Islam, membuang gangguan yang ada di jalan adalah termasuk bagian dari iman. Lantas perlu ditanyakan kepada para Kiyai pendukung Gus Dur terutama di Jawa Timur, bukankah membuat halangan besar-besaran di jalan raya serta merusak pohon dengan menebanginya; itu berarti membuang iman? Bukankah demikian?

       Antara ajaran Islam dan kepentingan orang-orang yang mengerti Islam yaitu ulama atau Kiyai yang berkendaraan hawa nafsu, memang kadang ada jaraknya yang sangat jauh, bahkan kadang sangat berbalikan. Selama kepentingan-kepentingan nafsu bahkan ashobiyah/ fanatik golongan itu masih lebih diunggulkan dibanding ajaran Islam itu sendiri, maka apa saja bisa dikorbankan demi kepentingan, demi golongan, demi perintah syetan, bukan demi Islam. Termasuk di dalamnya, kalau hanya masalah nama, yaitu ulama atau guru agama atau da'i, yang ketiga-tiganya tidak mendatangkan "manfaat" dari segi kepentingan untuk "dimunduk-munduki", maka tentu saja mereka lebih pilih julukan Kiyai, yang walaupun sebutan itu juga dipakai untuk kerbau namun mengandung unsur adanya "kebiasaan munduk-munduk" dari santri dan masyarakat terhadap Kiyai. Maka bisa diperkirakan, mereka tidak rela apabila julukan Kiyai itu diganti dengan Guru atau bahkan Ulama atau Syaikh sekalipun. Walaupun mereka sering menonjol-nonjolkan Hadits Al-'Ulamaau warotsatul Anbiyaa'. Ulama itu pewaris para Nabi.

   Kenapa lebih pilih julukan Kiyai?

   Karena, di samping hal tersebut di atas yaitu dimunduk-munduki (sangat dihormati dan ditaati serta ditakuti), masih ada alasan lain pula. Dalam kitab-kitab cukup banyak kecaman terhadap ulama' suu' (ulama jahat). Namun tidak tercantum dalam kitab-kitab adanya keterangan mengenai kecaman terhadap Kiyai suu' (jahat). Bahkan kerbau yang dijuluki Kiyai Slamet dipersilakan secara bebas dan merdeka untuk berkeliaran ke mana saja dan makan apa saja serta menginjak-injak apa saja boleh, dan tidak dijuluki Kiyai suu' (jahat). Malahan yang diinjak-injak ataupun hartanya dimakan itu justru senang, karena mereka percaya (dalam kondisi kepercayaan batil) akan mendapatkan berkah dan rejeki. Itulah kurang lebihnya.

   Julukan Kiyai untuk ulama perlu dihapus

   Kalau hal ini dibiarkan, maka kondisi semakin runyam. Maka perlu diadakan gerakan total untuk mendudukkan masalah pada proporsinya. Istilah-istilah yang tidak jelas, seperti halnya Kiyai, perlu dibersihkan, dan kalau perlu dienyahkan dari terminologi Islam, supaya Islam tidak dikotori dengan pemahaman-pemahaman yang tidak jelas. Tetapi, maukah mereka? Dan maukah masyarakatnya? Justru hal-hal yang tidak jelas itulah yang mereka cari, kadang-kadang. Itulah persoalannya pula.

    Dari kenyataan itu, maka sangat baguslah orang-orang yang konsisten, dan tidak mau disebut atau menyebut dirinya Kiyai. Sebagaimana Hamka, Ptof Dr H Mahmud Yunus dan lain-lain, mereka adalah ulama terkemuka dan menulis tafsir serta kitab-kitab Islam namun tidak disebut Kiyai, serta tidak menyebut dirinya Kiyai. Walaupun secara keilmuan maupun akhlaqnya, mereka adalah ulama, alim agama.

    Seandainya para ulama yang kini digelari Kiyai itu ikhlas mencopot gelar Kiyainya dan tak mau lagi disebut Kiyai, maka biar sekalian ketahuan bahwa Kiyai yang masih rela disebut Kiyai adalah Kiyai Dukun saja. Itu mungkin lebih baik, karena memang di dalam Islam tidak ada istilah  Kiyai itu, demikian pula adat-adat yang lekat dengan kekiyaian kalau dicocokkan dengan Islam tampaknya memang sering berjauhan. Contoh paling kecil saja, setiap kongres para Kiyai NU, (namanya bukan kongres Kiyai, tapi biasanya kongres Ulama), hampir bisa dipastikan mesti dikintil (disertai) oleh sponsor dari pabrik rokok. Asbak tempat puntung rokok lengkap dengan cap pabrik rokok mesti berjajar berderet-deret di hadapan para Kiyai. Apakah merokok itu menjadi salah satu perbuatan yang diafdholkan (diutamakan) dalam Islam? Paling kurang, mesti hukumnya makruh, perlu ditinggalkan. Tetapi kenapa justru para Kiyai menjadi contoh buruk dalam masalah ini? Sehingga kalau orang yang suka bercanda akan bisa bilang, yang terpilih dalam jam'iyah itu tentunya yang paling jago dalam merokok. Lho kenapa? Karena setiap kongres apalagi muktamar, mesti dikintil / diikuti oleh  sponsor yaitu pabrik rokok.

   Antara "harus" membuang julukan Kiyai dengan memperbaiki mental dan polah tingkah Kiyai, semuanya adalah hal yang rumit. Sebenarnya pada mulanya hanya ada pertanyaan-pertanyaan seperti yang diajukan kepada Hamka tentang makna Kiyai itu sendiri. Namun setelah para Kiyai terjun ke politik bahkan ucapan-ucapannya ada yang kurang pas, baik secara politik itu sendiri maupun bahkan secara Islam, maka pertanyaan itu  muncul lagi serta lebih sarat makna, dalam arti Kiyai menjadi sosok yang tidak jelas lagi di mata masyarakat. Dan dikhawatirkan, sebutan Kiyai justru jadi tempat perlindungan bagi orang-orang yang sebenarnya hanya mementingkan kepentingan diri mereka, keluarga mereka, dan golongan mereka. Yang hal itu tidak mudah digugat, karena belum ada kitab rujukan yang baku (istilah NU-nya mu'tabaroh) yang mengecam busuknya tingkah Kiyai. Sementara itu kalau sebutan ulama maka sudah banyak kitab baku yang bisa dijadikan panduan untuk mengecam tingkah buruk ulama suu'.

    Dikhawatirkan akan muncul pandangan: "Saya kan hanya Kiyai, bukan ulama. Yang tergolong ada yang suu' (jahat) itu kan ulama. Jangan disamakan dong, Kiyai dengan ulama. Kalau ulama sih, tak boleh berbuat begini dan begitu. Kalau Kiyai, boleh-boleh saja..."

    Sekali pintu kejahatan itu terbuka, maka akan terbuka pula kejahatan-kejahatan lain yang bervariasi dan bisa lebih besar lagi. Sebutan Kiyai di sini sudah ada gejala terbukanya kejahatan-kejahatan, baik tersamar maupun bisa terasakan secara umum. Oleh karena itu, perlu ditutup pintu kejahatan itu. Di antara jalan yang praktis adalah membuang sebutan Kiyai itu sendiri, dari khazanah istilah Islam, kemudian dikembalikan kepada istilah Islam, yaitu ulama atau alim atau 'allamah, atau syaikh seperti yang berlaku di dunia Islam. Hingga ulama yang benar bisa ditiru atau diteladani, sedang yang jahat atau suu' bisa disingkiri, karena kriterianya sudah jelas.

   Adapun sebutan Kiyai yang bisa disejajarkan dengan doktor oleh Departemen Agama sehingga bisa menduduki jabatan rektor suatu perguruan tinggi, contohnya KH Abdul Qadir Jaelani yang memimpin perguruan tinggi di Tanjung Priok Jakarta, hendaknya diganti dengan istilah yang pas pula, misalnya syaikh atau alim, atau 'allamah. Dan tentunya perlu sesuai pula dengan kadar keilmuan, tentang siapa yang bisa dijuluki syaikh atau 'alim atau 'allamah. Bukan sekadar hafal syair ya Robbi bil Mushthofaيا رب بالمصطفى بلغ مقاصدنا  yang syair itu sendiri mengandung persoalan secara aqidah karena mengandung tawassul/ perantara dengan orang yang sudah wafat, yang hal itu sama sekali tidak syar'i) lalu diberi gelar 'alim atau 'ulama atau 'allamah, sebagaimana sekarang bisa digelari Kiyai.

    Apakah para Kiyai akan ikhlas dengan usulan semacam ini? Wallahu a'lam. Itu urusan mereka. Hal yang baik dan yang benar dalam Islam tidak perlu persetujuan para Kiyai. Justru para Kiyai mestinya yang harus tunduk kepada kebenaran, kalau memang mereka istiqomah / konsisten dalam ber-Islam. Ini hanya mengingatkan, perlunya dibuang istilah Kiyai dari julukan keulamaan itu karena mengikuti kaidah saddudz dzarooi' yaitu menutup jalan yang menuju bahaya. Kaidah itu diakui oleh para ulama dalam Ushul Fiqh. Bukti-bukti dan gejalanya telah nampak, maka sebelum kondisinya akan lebih parah, sebaiknya ditempuh jalan saddudz dzaroi'  itu.

   Demikianlah. Apabila hal ini menyinggung perasaan para Kiyai, maka dengan sepenuh hati kami minta maaf. Walaupun demikian, pendapat ini tetap kami sengaja untuk dikemukakan.


[1] Drs H Ibnu Qoyim Isma'il MA, Kiai penghulu Jawa Peranannya di Masa Kolonial, Gema Insani Press, Jakarta, cetakan I, 1977, halaman 62, mengutip Ahmad Adaby Darban, Ulama di Jawa: Perspektif Sejarah, Yogyakarta, 1988,  halaman 6, juga mengutip FA Sutjipto, Pemimpin-pemimpin Agama di Wilayah Kerajaan Mataram  Sekitar Abad 18, Yogyakarta 1971.

[2] Sunan di sini bukan bentuk jama' (plural) dari kata Arab Sunnah (hadits ataupun tradisi) tetapi dari kata Susuhunan sebagai gelar untuk wali/ ulama ataupun pejabat di mahkamah yang bahasa Arabnya Qodhi yaitu hakim di kerajaan Islam di Jawa pada masa itu, sedang rajanya bergelar Sultan dari kata Arab Sulthon.

[3] Ibnu Qoyim Isma'i, ibid, halaman 62.

[4] Ibid, halaman 63.

[5] Majalah Gema Islam No. 30 tahun II, 15 April 1963, kemudian dikumpulkan  menjadi: Hamka Membahas Soal-soal Islam oleh H Rusydi dan Afif, Pustaka Panjimas, Jakarta,  cetakan IV, 1985, halaman 397-398.   

[6] Ibid, halaman 400

[7] Ibid, halaman 401.

[8] Ridwan Saidi, Orang Betawi dan Modernisasi Jakarta, LSIP, Jakarta, cetakan pertama 1994, halaman 212.

Dari buku "Bila Kiyai Menjadi Tuhan" H. Hartono Ahmad Jaiz

 

20 January 2009

Kabar Kampung

Berikut kami kabarkan info terakhir kampung kita, Njarjo.

1. Padi para petani Banjarejo sedang dalam keadaan "katak"

2. Kabar gembira datang dari putra Lik Mitro Sardjono,mas Widodo.
Tanggal 5 januari 2009, istri Pak Dodo melahirkan anak lelaki seberat 3,7 kg dengan operasi cesar.

"Keluarga Muda Mudi mengucapkan selamat atas kelahiran putra Pak Dodo, semoga menjadi anak yang berbakti pada Agama, Keluarga, dan Bangsa, Amiin"

3. Damai dan tentram menaungi dukuh banjarejo, aman tentram tidak ada yang bertikai... :)

sumber. Totok Setiawan

12 January 2009

Ucapan Terima Kasih

Ucapan terima kasih buat pak RW, Bapak H. Trihono yang telah membiayai ongkos jahit seragam sinoman KMB.
Semoga Beliau sukses selalu...

WASPADA Demam Berdarah !!!

Demam berdarah (DB) atau demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit febril akut yang ditemukan di daerah tropis, dengan penyebaran geografis yang mirip dengan malaria. Penyakit ini disebabkan oleh salah satu dari empat serotipe virus dari genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Setiap serotipe cukup berbeda sehingga tidak ada proteksi-silang dan wabah yang disebabkan beberapa serotipe (hiperendemisitas) dapat terjadi. Demam berdarah disebarkan kepada manusia oleh nyamuk Aedes aegypti.

Tanda dan gejala
Penyakit ini ditunjukkan melalui munculnya demam secara tiba-tiba, disertai sakit kepala berat, sakit pada sendi dan otot (myalgia dan arthralgia) dan ruam; ruam demam berdarah mempunyai ciri-ciri merah terang, petekial dan biasanya mucul dulu pada bagian bawah badan — pada beberapa pasien, ia menyebar hingga menyelimuti hampir seluruh tubuh. Selain itu, radang perut bisa juga muncul dengan kombinasi sakit di perut, rasa mual, muntah-muntah atau diare, pilek ringan disertai batuk-batuk. Kondisi waspada ini perlu disikapi dengan pengetahuan yang luas oleh penderita maupun keluarga yang harus segera konsultasi ke Dokter apabila pasien/penderita mengalami demam tinggi 3 hari berturut-turut. Banyak penderita atau keluarga penderita mengalami kondisi fatal karena menganggap ringan gejala-gejala tersebut.

Demam berdarah umumnya lamanya sekitar enam atau tujuh hari dengan puncak demam yang lebih kecil terjadi pada akhir masa demam. Secara klinis, jumlah platelet akan jatuh hingga pasien dianggap afebril.

Sesudah masa tunas / inkubasi selama 3 - 15 hari orang yang tertular dapat mengalami / menderita penyakit ini dalam salah satu dari 4 bentuk berikut ini :
Bentuk abortif, penderita tidak merasakan suatu gejala apapun.
Dengue klasik, penderita mengalami demam tinggi selama 4 - 7 hari, nyeri-nyeri pada tulang, diikuti dengan munculnya bintik-bintik atau bercak-bercak perdarahan di bawah kulit.
Dengue Haemorrhagic Fever (Demam berdarah dengue/DBD) gejalanya sama dengan dengue klasik ditambah dengan perdarahan dari hidung (epistaksis/mimisan), mulut, dubur dsb.
Dengue Syok Sindrom, gejalanya sama dengan DBD ditambah dengan syok / presyok. Bentuk ini sering berujung pada kematian.

Karena seringnya terjadi perdarahan dan syok maka pada penyakit ini angka kematiannya cukup tinggi, oleh karena itu setiap Penderita yang diduga menderita Penyakit Demam Berdarah dalam tingkat yang manapun harus segera dibawa ke dokter atau Rumah Sakit, mengingat sewaktu-waktu dapat mengalami syok / kematian.

Penyebab demam berdarah menunjukkan demam yang lebih tinggi, pendarahan, trombositopenia dan hemokonsentrasi. Sejumlah kasus kecil bisa menyebabkan sindrom shock dengue yang mempunyai tingkat kematian tinggi.

Diagnosis
Diagnosis demam berdarah biasa dilakukan secara klinis. Biasanya yang terjadi adalah demam tanpa adanya sumber infeksi, ruam petekial dengan trombositopenia dan leukopenia relatif.

Serologi dan reaksi berantai polimerase tersedia untuk memastikan diagnosa demam berdarah jika terindikasi secara klinis.

Mendiagnosis demam berdarah secara dini dapat mengurangi risiko kematian daripada menunggu akut.

Pengobatan
Bagian terpenting dari pengobatannya adalah terapi suportif. Sang pasien disarankan untuk menjaga penyerapan makanan, terutama dalam bentuk cairan. Jika hal itu tidak dapat dilakukan, penambahan dengan cairan intravena mungkin diperlukan untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi yang berlebihan. Transfusi platelet dilakukan jika jumlah platelet menurun drastis.

Pengobatan alternatif yang umum dikenal adalah dengan meminum jus jambu biji bangkok, namun khasiatnya belum pernah dibuktikan secara medik, akan tetapi jambu biji kenyataannya dapat mengembalikan cairan intravena. Meskipun demikian kombinasi antara manajemen yang dilakukan secara medik dan alternatif harus tetap dipertimbangkan.

Epidemiologi
Wabah pertama terjadi pada tahun 1780-an secara bersamaan di Asia, Afrika, dan Amerika Utara. Penyakit ini kemudian dikenali dan dinamai pada 1779. Wabah besar global dimulai di Asia Tenggara pada 1950-an dan hingga 1975 demam berdarah ini telah menjadi penyebab kematian utama di antaranya yang terjadi pada anak-anak di daerah tersebut.

Pencegahan
Tidak ada vaksin yang tersedia secara komersial untuk penyakit demam berdarah.

Pencegahan utama demam berdarah terletak pada menghapuskan atau mengurangi vektor nyamuk demam berdarah. Insiatif untuk menghapus kolam-kolam air yang tidak berguna (misalnya di pot bunga) telah terbukti berguna untuk mengontrol penyakit yang disebabkan nyamuk, menguras bak mandi setiap seminggu sekali, dan membuang hal - hal yang dapat mengakibatkan sarang nyamuk demam berdarah Aedes Aegypti.

Sejarah Palestina dan Perlukah Mereka Kita Bela??


Umar RA Memasuki Palestina (637 M)

•Karen Armstrong menggambarkan penaklukan Yerusalem oleh Umar dalam bukunya Holy War:

Khalifah Umar memasuki Yerusalem dengan mengendarai seekor unta putih, dikawal oleh pemuka kota tersebut, Uskup Yunani Sofronius.

•Sang Khalifah minta agar ia dibawa segera ke Haram asy-Syarif, dan di sana ia berlutut berdoa di tempat temannya Muhammad melakukan perjalanan malamnya.

•Sang uskup melihatnya dengan ketakutan: ini, ia pikir, pastilah akan menjadi penaklukan penuh kengerian yang pernah diramalkan oleh Nabi Daniel akan memasuki rumah ibadat tersebut; Ia pastilah sang Anti Kristus yang akan menandai Hari Kiamat.

•Kemudian Umar minta melihat tempat-tempat suci Nasrani, dan ketika ia berada di Gereja Holy Sepulchre, waktu sholat umat Islam pun tiba. Dengan sopan sang uskup menyilakannya sholat di tempat ia berada, tapi Umar dengan sopan pula menolak …
Jika ia berdoa dalam gereja, jelasnya, umat Islam akan mengenang kejadian ini dengan mendirikan sebuah mesjid di sana, dan ini berarti mereka akan memusnahkan Holy Sepulchre. Justru Umar pergi sholat di tempat yang sedikit jauh dari gereja tersebut, dan cukup tepat (perkiraannya), di tempat yang langsung berhadapan dengan Holy Sepulchre masih ada sebuah mesjid kecil yang dipersembahkan untuk Khalifah Umar.

•Mesjid besar Umar lainnya didirikan di Haram asy-Syarif untuk menandai penaklukan oleh umat Islam, bersama dengan mesjid al-Aqsa yang mengenang perjalanan malam Muhammad.
Selama bertahun-tahun umat Nasrani menggunakan tempat reruntuhan biara Yahudi ini sebagai tempat pembuangan sampah kota. Sang khalifah membantu umat Islam membersihkan sampah ini dengan tangannya sendiri dan di sana umat Islam membangun tempat sucinya sendiri untuk membangun Islam di kota suci ketiga bagi dunia Islam.

Tentara Salibis memasuki Al-Quds
•Ketika orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Islam hidup bersama dalam kedamaian, sang Paus memutuskan untuk membangun sebuah kekuatan perang Salib.

•Mengikuti ajakan Paus Urbanius II pada 27 November 1095 di Dewan Clermont, lebih dari 100.000 orang Eropa bergerak ke Palestina untuk “memerdekakan” tanah suci dari orang Islam dan mencari kekayaan yang besar di Timur.

•Setelah perjalanan panjang dan melelahkan, dan banyak perampasan dan pembantaian di sepanjang perjalanannya, mereka mencapai Yerusalem pada tahun 1099. Kota ini jatuh setelah pengepungan hampir 5 minggu.

•Ketika Tentara Perang Salib masuk ke dalam, mereka melakukan pembantaian yang sadis. Seluruh orang-orang Islam dan Yahudi dibasmi dengan pedang.

•Beberapa orang lelaki kami (dan ini lebih mengasihi sifatnya) memenggal kepala-kepala musuh-musuh mereka; lainnya menembaki mereka dengan panah-panah, sehingga mereka berjatuhan dari menara-menara; lainnya menyiksa mereka lebih lama dengan memasukkan mereka ke dalam nyala api.
Tumpukan kepala, tangan, dan kaki akan terlihat di jalan-jalan kota. Perlu berjalan di atas mayat-mayat manusia dan kuda. Tapi ini hanya masalah kecil jika dibandingkan dengan apa yang terjadi pada Biara Sulaiman, tempat di mana ibadah keagamaan kini dinyanyikan kembali… di biara dan serambi Sulaiman, para pria berdarah-darah disuruh berlutut dan dibelenggu lehernya

•Dalam dua hari, tentara Perang Salib membunuh sekitar 40.000 orang Islam dengan cara tak berperikemanusiaan seperti yang telah digambarkan. Perdamaian dan ketertiban di Palestina, yang telah berlangsung semenjak Umar, berakhir dengan pembantaian yang mengerikan.

Salahudin Al-Ayubi Membebaskan Al-Quds
•Salahuddin mengumpulkan seluruh kerajaan Islam di bawah benderanya dalam dalam pertempuran Hattin pada tahun 1187. Setelah pertempuran ini, dua pemimpin tentara Perang Salib, Reynald dari Chatillon dan Raja Guy, dibawa ke hadapan Salahuddin. Beliau menghukum mati Reynald dari Chatillon, yang telah begitu keji karena kekejamannya yang hebat yang ia lakukan kepada orang-orang Islam, namun membiarkan Raja Guy pergi, karena ia tidak melakukan kekejaman yang serupa. Palestina sekali lagi menyaksikan arti keadilan yang sebenarnya.

•Tiga bulan setelah pertempuran Hattin, dan pada hari yang tepat sama ketika Nabi Muhammad SAW diperjalankan dari Mekah ke Yerusalem untuk perjalanan mi’raj-nya ke langit, Salahuddin memasuki Yerusalem dan membebaskannya dari 88 tahun pendudukan tentara Perang Salib.

•Salahuddin tidak menyentuh seorang Nasrani pun di kota tersebut, sehingga menyingkirkan rasa takut mereka bahwa mereka semua akan dibantai. Ia hanya memerintahkan semua umat Nasrani Latin (Katolik) untuk meninggalkan Yerusalem. Umat Nasrani Ortodoks, yang bukan tentara Perang Salib, dibiarkan tinggal dan beribadah menurut yang mereka pilih.

•Karen Armstrong menggambarkan penaklukan kedua kalinya atas Yerusalem ini dengan kata-kata berikut ini:

Pada tanggal 2 Oktober 1187, Salahuddin dan tentaranya memasuki Yerusalem sebagai penakluk dan selama 800 tahun berikutnya Yerusalem tetap menjadi kota Muslim.
Salahuddin menepati janjinya, dan menaklukkan kota tersebut menurut ajaran Islam yang murni dan paling tinggi.
Dia tidak berdendam untuk membalas pembantaian tahun 1099, seperti yang Al-Qur’an anjurkan (16:127),
dan sekarang, karena permusuhan dihentikan, ia menghentikan pembunuhan (2:193-194).

Palestina di masa Kekhilafahan Utsmaniyah
•Pada tahun 1514, Sultan Salim menaklukkan Al-Quds dan sekitarnya dan sekitar 400 tahun pemerintahan Ottoman di Palestina pun dimulai. Seperti di negara-negara Ottoman lainnya, masa ini menyebabkan orang-orang Palestina menikmati perdamaian dan stabilitas meskipun kenyataannya pemeluk tiga keyakinan berbeda hidup berdampingan satu sama lain.

•Setiap orang dengan keyakinan berbeda diizinkan hidup menurut keyakinan dan sistem hukumnya sendiri. Orang-orang Nasrani dan Yahudi, yang disebut Al-Qur’an sebagai Ahli Kitab, menemukan toleransi, keamanan, dan kebebasan, dan mendapatkan kedamaian dan keamanan sehingga mereka nyaman dalam aturan dan keadilan Islam.

•Negara-negara besar lainnya pada saat yang sama mempunyai sistem pemerintahan yang lebih kejam, menindas, dan tidak toleran.

•Spanyol tidak membiarkan keberadaan orang-orang Islam dan Yahudi di tanah Spanyol, dua masyarakat yang mengalami penindasan hebat. Di banyak negara-negara Eropa lainnya, orang Yahudi ditindas hanya karena mereka adalah orang Yahudi (misalnya, mereka dipaksa untuk hidup di kampung khusus minoritas Yahudi (ghetto), dan kadangkala menjadi korban pembantaian massal (pogrom).

•Orang-orang Nasrani bahkan tidak dapat berdampingan satu sama lain: Pertikaian antara Protestan dan Katolik selama abad keenambelas dan ketujuhbelas menjadikan Eropa sebuah medan pertempuran berdarah. Perang Tiga Puluh Tahun (1618-164 adalah salah satu akibat pertikaian ini. Akibat perang itu, Eropa Tengah menjadi sebuah ajang perang dan di Jerman saja, 5 juta orang (sepertiga jumlah penduduknya) lenyap.

Makar dan Rekayasa Zionis
•Tahun 1917 : Deklarasi Balfour, Inggris memandang pentingnya pendirian di Palestina sebuah tanah air nasional bagi orang-orang Yahudi Palestina.

•Para Zionis merasakan dirinya berada dalam keadaan yang sulit ketika banyak saudara-saudara Yahudi-nya menolak pindah ke Palestina, maka para Zionis-pun mulai terlibat dalam “kegiatan-kegiatan khusus” untuk “mendorong” pindahnya orang Yahudi ke Palestina, bahkan memaksa jika diperlukan, seperti mengganggu orang-orang Yahudi di negara-negara asalnya dan bekerja sama dengan para anti-Semit untuk meyakinkan bahwa pemerintah akan mengusir orang-orang Yahudi.
Dengan demikian, Zionisme mengembangkannya sebagai gerakan yang mengganggu dan menteror rakyatnya sendiri.

•1920-1929 : Sekitar 100.000 orang Yahudi pindah ke Palestina Jika kita merenungkan bahwa ada 750.000 orang Palestina pada saat itu, maka 100.000 pasti bukanlah jumlah kecil.

•Bersamaan dengan adanya peningkatan kekuasaan Partai Nazi, orang-orang Yahudi di Jerman menghadapi tekanan yang semakin meningkat, suatu perkembangan yang semakin mendorong perpindahan mereka ke Palestina. Kenyataan Zionis mendukung penindasan Yahudi ini adalah sebuah fakta, dan masih menjadi salah satu rahasia sejarah yang paling terpendam.

•1947 : 630.000 orang Yahudi dan 1,3 juta orang Palestina.

•Antara 29 November 1947, ketika Palestina diberi dinding pembatas oleh PBB, sampai dengan 15 Mei 1948, organisasi teroris Zionis mencaplok tiga perempat Palestina.
Selama masa itu, jumlah orang-orang Palestina yang tinggal di 500 kota besar, kota kecil, dan desa turun drastis dari 950.000 menjadi 138.000 akibat serangan dan pembantaian. Beberapa di antaranya terbunuh, beberapa terusir

Pembantaian Pembantaian Berikutnya
Buku harian seorang tentara Israel yang diterbitkan oleh surat kabar Israel Davar dalam sebuah operasi untuk mengepung desa Palestina Ed-Dawayma pada tahun 1948:
–Mereka membunuh antara delapan puluh hingga seratus lelaki, wanita, dan anak-anak Arab. Untuk membunuh anak-anak, mereka (para tentara) mematahkan kepala mereka dengan tongkat. Tidak ada satu rumah pun tanpa mayat. Para wanita dan anak-anak di desa tersebut dipaksa tinggal di dalam rumah tanpa makanan dan air. Kemudian, para tentara datang untuk meledakkan mereka dengan dinamit.

•Pembantaian Deir Yassin, 1948: 254 tewas
–Jika tidak ada Deir Yassin, setengah juta orang Arab akan tetap tinggal di negara Israel Negara Israel tidak akan pernah ada.

•Pembantaian di Qibya, 1953: 96 tewas
–Teror menjadi sebuah senjata politik Nazi. Namun Nazi tidak pernah menggunakan teror dengan cara yang lebih berdarah dingin dan tanpa alasan seperti yang dilakukan Israel dalam pembantaian di Qibya.

•Setelah Perang 1967, Sharon menyebabkan 160.000 orang Palestina meninggalkan Yerusalem Timur dan menjadi pengungsi.
Teknik hukumannya meliputi pengeboman rumah, pembongkaran kamp pengungsi, dan penahanan ratusan pemuda tanpa alasan lalu menyiksa mereka.

•Ketika Sharon menjadi penanggung jawab keamanan di Jalur Gaza, ratusan orang Palestina dibunuh, ribuan ditahan dan diusir dari Palestina, dan di Gaza saja 2000 rumah telah dihancurkan dan 16.000 orang diusir untuk kedua kalinya.

•Pada saat pembantaian Sabra dan Shatilla (1982), 14.000 orang (termasuk 13.000 orang sipil tak bersenjata) meninggal di tempat itu dalam beberapa minggu, dan sekitar setengah juta orang kehilangan tempat tinggal.
Dan Sekarang, Sudah dua minggu lebih Yahudi terkutuk membantai saudara saudara Kita
Perlukah mereka Kita Bela….?????

Konflik di Jalur Gaza belakangan ini memunculkan wacana yang sangat menarik. Barangkali baru sekaranglah orang-orang bisa mengungkapkan pendapatnya secara lugas, bahkan dengan resiko dikucilkan dari pergaulan sesama Muslim. Di Indonesia, sebagian umat Muslim pun tidak canggung untuk menyatakan ketidaksetujuannya terhadap usaha-usaha mendukung Palestina. Artikel ini insya Allah akan membantahnya dengan cara sebaik mungkin.

( dicopy dari http://akmal.multiply.com/journal/item/715/Mengapa_Kita_Tidak_Perlu_Mendukung_Palestina_dan_Bantahannya )

Hak Historis Bangsa Yahudi

Ini adalah argumen ‘standar’ untuk membenarkan pendirian negara Israel. Bangsa Yahudi senantiasa mengklaim bahwa mereka berhak atas tanah Palestina. Konon, mereka sudah tinggal di negeri itu sejak jamannya Nabi Ya’qub as.

Argumen ini sebenarnya sangat lemah, karena pada jaman Nabi Ya’qub as., agama Yahudi belum lagi ada. Bani Israil adalah nama yang diberikan kepada keturunan beliau, namun nama itu baru dikenal setelah masa kehidupannya. Tambahan lagi, Nabi Ya’qub as. dan keluarganya bermigrasi ke Mesir secara sukarela saat Nabi Yusuf as. menjadi bendahara negara pada masa itu. Karena mereka pindah secara sukarela, maka tanah asalnya tentu tak bisa diklaim lagi. Lagipula, kalau yang diklaim adalah peninggalan Nabi Ya’qub as., maka umat Islam akan merasa lebih berhak, karena di dalam ajaran Islam, pertalian aqidah lebih kental daripada hubungan darah.

Klaim ‘kepemilikan’ bangsa Yahudi juga tidak jelas. Andaikan bangsa Yahudi memang pernah tinggal di sana, maka mereka bukanlah satu-satunya penghuni negeri itu. Bangsa Romawi dan bangsa asli Palestina pun sudah tinggal di sana sejak lama. Jika tidak ada hitam di atas putih, maka bangsa Yahudi tak boleh mengklaim tanah (apalagi seluas satu negara) sebagai miliknya sendiri. Tambahan lagi, jika bangsa Yahudi mengklaim tanah Palestina atas dasar sejarah, maka benua Australia dan Amerika pun mesti dikembalikan ke pemilik sahnya, yaitu bangsa Aborigin dan Indian.

Tanah yang Dijanjikan

Kaum Zionis mengklaim bahwa tanah Palestina adalah tanah yang dijanjikan kepada mereka, dan klaim ini juga sering didukung oleh umat Nasrani. Namun memaksakan klaim ini adalah sebuah tindakan pemaksaan agama, karena yang setuju hanyalah umat Yahudi dan Nasrani. Kalau boleh menguasai suatu wilayah hanya dengan modal ‘janji Tuhan’, maka umat Islam bisa mengklaim seluruh Bumi, karena Allah SWT telah mengangkat mereka sebagai khalifah fi al-‘ardh. Tentu saja, kalau umat Islam mengklaim sebuah kota saja dengan alasan demikian, maka pasti akan muncul label fundamentalis, radikalis, teroris, atau literalis.

Bangsa Tanpa Negeri

Ada juga yang bersikap lebih ‘humanitarian’ dengan mengatakan bahwa orang-orang Yahudi pada Perang Dunia II terpaksa lari ke tanah Palestina karena didesak oleh NAZI di Eropa. Namun kini beredar teori konspirasi antara NAZI dan kaum Yahudi Zionis. Konon, kaum Yahudi yang pro-Zionisme (yang ketika itu masih minoritas) bekerjasama dengan NAZI untuk membantai saudaranya sendiri, agar mereka mau diyakinkan untuk pindah ke ‘tanah yang dijanjikan’. Namun dengan mengabaikan teori konspirasi ini, argumennya masih saja lemah.

Orang yang lari karena negerinya dilanda konflik adalah pengungsi. Atas nama kemanusiaan, umat Islam pasti akan menerima warga pengungsi dengan tangan terbuka. Sebuah Masjid di Perancis dikenal telah memberikan perlindungan kepada warga Yahudi pada Perang Dunia II, dan masih banyak contoh lainnya. Jika statusnya adalah pengungsi, insya Allah Palestina akan menerima dengan tangan terbuka (walau perlu dipertanyakan : apa iya tidak ada negara lain yang lebih dekat untuk tempat berlabuhnya para pengungsi?). Tapi layaknya pengungsi yang baik, setelah negerinya damai kembali, hendaknyalah kembali ke rumah masing-masing. Dalam kasus Palestina, ‘para pengungsi’ malah semakin kurang ajar, menembaki warga tuan rumah, dan berusaha mendirikan negara di dalam negara. Karena itu, kita tidak perlu lagi memandang kaum Zionis dengan pandangan penuh iba sebagai pengungsi yang tak punya tanah air. Eropa dan AS membuka pintu lebar-lebar kepada mereka, mengapa harus di Palestina?

Perang Antar Negara, Bukan Agama

Kalau dikatakan perang antar agama (yaitu antara Islam dan Yahudi), nampaknya memang tidak. Rasulullah saw. sendiri tak pernah mengobarkan perang dengan umat Yahudi secara keseluruhan. Umat Yahudi pun terbelah dua dalam menyikapi Zionisme Internasional ; ada yang pro dan ada yang kontra.

Namun sebutan ‘perang antar negara’ pun sangat ceroboh, karena statement ini mesti didahului dengan pengakuan terhadap Israel sebagai sebuah negara yang sah. Padahal, kasus yang terjadi adalah penjajahan Palestina oleh Inggris, kemudian Inggris secara sepihak memberikan sebidang tanah kepada kaum Zionis. Kaum Zionis kemudian menerima bantuan dari berbagai negara, termasuk senjata, kemudian mulai mengobarkan peperangan dengan Palestina. Inilah fakta yang dengan susah payah berusaha dikaburkan oleh sebagian pihak.

Bagaimanapun, jika dikatakan bahwa ini adalah perangnya warga Palestina, dan bukan perangnya umat Islam, maka orang yang berkata demikian telah cacat aqidah-nya. Islam tidak mengenal garis perbatasan negara. Selama masih Muslim, maka ia adalah saudara kita ; senasib dan sepenanggungan. Membela umat Muslim yang ditindas adalah kewajiban kita semua, karena Rasulullah saw. menjelaskan bahwa kita adalah bagaikan satu tubuh. Tidak ada pengecualian. Mereka yang tidak ‘gerah’ menyaksikan penderitaan umat Islam di Palestina sebaiknya mulai mengkhawatirkan kondisi keimanannya sendiri, kalau-kalau dalam waktu dekat akan dipanggil Allah SWT.

HAMAS yang Memulai

Sebagian orang berkata bahwa HAMAS-lah yang merusak gencatan senjata dengan menyerang duluan. Cukup mengherankan melihat betapa banyak orang menggarisbawahi ‘pelanggaran gencatan senjata’ kali ini (andaikan memang itu yang terjadi), sementara mereka dulu diam sejuta bahasa ketika kaum Zionis berulang kali melanggar perjanjian. Namun dalam menanggapi masalah apa pun, hendaknya diingat bahwa dalam kasus Palestina yang terjadi adalah pencaplokan wilayah. Tentunya kaum pejuang bebas menyerang penjajah kapan pun mereka bisa. Bangsa Indonesia harusnya tahu betul tentang itu.

Yang Dekat Duluan

Ada juga yang dengan tidak tahu malunya berkata, “Ngapain urus Palestina, mending urus saudara di Indonesia dulu?” Secara prinsip memang benar, yang dekat lebih prioritas untuk diurus. Namun menentukan prioritas bukan hanya dengan mempertimbangkan faktor jarak. Dalam buku Fikih Prioritas, Syaikh Yusuf al-Qaradhawi telah memaparkan panjang lebar mengenai hal-hal yang mesti dipertimbangkan sebelum menentukan skala prioritas. Misalnya, jika ada tetangga yang miskin, tentu ia lebih berhak untuk kita sedekahi. Akan tetapi jika ada warga di kota lain yang terancam nyawanya, sementara tetangga kita bisa menunggu sebentar, maka tentu yang lebih gawat urusannyalah yang harus didahulukan.

Kontradiksinya akan kelihatan jelas di lapangan. Mereka yang menggunakan pernyataan di atas biasanya hanya menghindar dari kewajiban. Mereka bilang lebih baik mengurus yang dekat, padahal yang dekat pun tak pernah mereka urusi. Dalam acara debat di sebuah stasiun televisi, sangat menggelikan melihat sebuah parpol menyuruh parpol lain agar jangan fokus ke Palestina, dan lebih baik mengurusi warga Indonesia dahulu. Padahal parpol yang dikritiknya itu adalah parpol yang paling rajin menggelar aksi sosial, baik untuk urusan umat di dalam negeri maupun umat di luar negeri. Parpol yang mengkritik justru jarang kelihatan aksinya ; di dalam dan di luar negeri. Demikian pula jika ada orang yang menggunakan argumen serupa, sebaiknya dikembalikan pada mereka : “Apa yang sudah antum perbuat untuk saudara-saudara antum di dalam negeri?”. Faktanya, dalam hal aksi sosial, yang terjadi adalah 4L (lu lagi, lu lagi). Yang mengurusi musibah di Aceh, Sidoarjo, dan Palestina, biasanya yang itu-itu juga orangnya. Dan yang bermalas-malasan dan mengajukan seribu pembenaran untuk tidak berbuat apa-apa biasanya juga yang itu-itu saja.