02 July 2010

Rasulan di Gunung Kidul


Apa yang terlintas di benak anda pada saat mendengar kata rasulan sebagaimana judul di atas? Barangkali kebanyaka orang langsung akan berpikir mengenai suatu kegiatan yang ada hubungannya dengan peringatan terhadap suatu momen hidup Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Misalkan saja dihubungkan dengan hari kelahiran nabi, sebagaimana peringatan mauludan. Saat diturunkannya wahyu Quran pertama kali sekaligus pengangkatan Muhammad sebagai nabi dan rasul yang diperingati sebagai Nuzulul Quran. Atau waktu dimana Kanjeng Nabi berhijrah ke Madinah Al Munawaroh yang dikenal sebagai tahun baru hijriyah. Ternyata tidak selamanya kata rasulan dihubungkan dengan momen-momen tersebut.

Untuk sebagian masyarakat Jawa, terutama penduduk di Gunung Kidul yang terbentang mulai dari Panggang di sebelah barat hingga Girisubo di ujung timur, ternyata kata rasulan mempunyai makna tersendiri dan tidak ada sama sekali hubungannya dengan Kanjeng Nabi. Lalu bagaimanakah kelompok masyarakat tersebut memaknai kata rasulan tersebut? Rasulan, atau merti deso atau bersih dusun merupakan suatu kegiatan dalam rangka peringatan berdirinya sebuah dusun, desa, atau kampung. Inti dari kegiatan tersebut merupakan pemanjatan rasa puji dan syukur atas segala nikmat dan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada semua warga dusun.

Ladang dan persawahan yang membentang, hewan ternak peliharaan yang sehat dan gemuk-gemuk, anak istri dan segenap anggota keluarga yang diberi kesehatan dan kecukupan sandang pangan serta papan, semua kenikmatan itu mereka sadari sepenuhnya merupakan pemberian Kang Akarya Jagad. Meskipun jika kita bicara jujur mengenai kehidupan mereka yang menurut teori ekonomi modern, dikatakan di bawah garis kemiskinan, namun etos semangat yang tertanam dalam di lubuk sanubarinya adalah sikap untuk selalu narimo ing pandum terhadap semua pemberian Gusti Alloh.

Kehidupan mereka memang serba marjinal. Bagaimana kita bisa membayangkan kehidupan di tengah area perbukitan kapur tandus dengan cadangan air yang sangat minim. Hewan ternak yang terpaksa memakan hewan ternak yang lain karena keterpaksaan -kanibalisme- untuk membeli pakan dan air minum. Tanah garapan yang hanya bisa ditanami singkong, jagung dan gude, dan jika sedikit beruntung bisa menanam padi gogo di musim hujan. Sebarapakah hasil panenan mereka? Seberapa mahal harga satu kuintal gaplek? Kita tentu miris membayangkannya. Namun demikian mereka tetap memanjatkan puji syukur kepada Tuhan.

Dari sisi sejarah, dikabarkan bahwa para pelarian kerajaan Majapahit di saat senjakalaning negari banyak yang lari menyepi di daerah pinggiran nan terpencil karena keterpaksaan politik, ideologi dan tentunya budaya. Daerah yang menjadi kantong penampung pelarian tersebut diantaranya Pulau Bali, kawasan Tengger, dan seputar Pegunungan Seribu(Gunung Kidul). Bahkan konon abdi kinasih Brawijaya V, yaitu Sabdopalon dan Noyogenggong, serta beberapa putri kedhaton mengungsi ke Pegunungan Seribu tersebut. Oleh karena itu sentuhan budaya dan tradisi hinduisme di kalangan masyarakat Gunung Kidul, bahkan sampai saat ini masih kental terasa. Dan memang beberapa warga diantaranya memang memeluk Hindu sebagai agamanya. Di samping itu jangan heran dengan rumor bahwa meskipun terkenal tandus dan kurang air, namun perempuan Gunung Kidul terkenal memiliki kulit tubuh yang lembut kuning langsat.

Kembali kepada tradisi rasulan, banyak kegiatan yang dilakukan oleh warga dusun dalam rangka kegiatan rasulan. Acara biasanya berlangsung beberapa hari dengan diawali kegiatan bersih-bersih fisik dusun, mulai dandan dalan, pembuatan pagar pekarangan, pengecatan pagar dan gedhek, termasuk besrik makam dan reresik tempat danyang dusun. Perlu diketahui bahwa yang dimaksud danyang adalah penguasa atau yang mbahurekso kawasan dusun secara mistik spiritualis. Dan memang dalam filosofi masyarakat setempat aroma dinamisme dan animisme masih sangat kental terasa.
RinginDanyang bisa berasal dari makhluk halus penunggu dusun maupun roh para nenek moyang. Setiap dusun biasanya mempunyai suatu tempat khusus yang dikhususkan untuk tempat persemayaman roh sang danyang. Biasanya tempat tersebut berupa pohon resan atau watu dukun. Pohon resan bisa jadi merupakan pohon ringin kurung, ipik, randu alas dan lain sebagainya. Sedangkan watu dukun merupakan batu besar selayaknya jaman megalitikum yang diselimuti dengan kain sarung poleng, atau motif papan catur seperti di Bali. Nah di tempat danyang dusun inilah biasanya ditempatkan berbagai sesajen untuk memohon keslametan, dan dalam alam adat merekapun jika ada warga yang sakit seringkali dimintakan obat kesembuhan kepada danyang dusun melalui perantara pak kaum.

Prosesi ritual rasulan diawali gendurenan komplit, sego gurih, sayur ingkung dan uba rampe lainnya. Dalam proses pemanjatan doa, pak kaum mengikrarkan segala rasa syukur warga atas segala kemurahan limpahan nikmat. Biasa juga disampaikan bahwa pak kaum sudah sowan kepada danyang dusun untuk memohon perlindungan dalam kegiatan bercocok tanam, bermasyarakat dan mencari nafkah hidup. Tak lupa disampaikan pula bahwa doa untuk kemenangan tim sepak bola atau bola volley dusun yang di keesokan harinya akan bertanding melawan musuh yang dibon(didatangkan) dari daerah lain dapat menang dalam bertanding.

Kegiatan di siang hari diisi dengan kegiatan lomba olah raga, barangkali ini terjadi setelah era modern saja. Sedangkan malam hari diisi dengan acara seni atau budaya. Untuk seni budaya ini tergantung dari masing-masing keinginan atau adat suatu dusun. Ada yang nanggap kethoprak, wayang kulit, campur sari, bahkan tayuban. Berapa hari dan berapa jenis kegiatan atau pertunjukan budaya yang dilakukan sangat tergantung dengan kepercayaan adat dan tentunya dana yang dimiliki. Ada yang diselenggarakn tiga hari, empat hari bahkan lima hari. Ada yang cukup nanggap wayang kulit tok, ada yang ditambah kethoprak, sekaligus campur sari dan tayuban. Namun intinya bahwa kegiatan rasulan harus dilaksanakan setiap tahun, jika tidak masyarakat percaya bahwa dusun mereka akan dilanda bendhu atau adzab dari Sing Gawe Urip.

No comments: