oleh Ippho Santosa*
Menjelang Ramadhan yang lalu, bertebaran dan bertaburan spanduk berbunyi, “Marhaban Ya Ramadhan. Di bulan yang suci ini, marilah kita meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita.” Atau sejenisnya. Entah itu diucapkan dari institusi maupun dari pribadi. Di mata kami, kalimat itu adalah kalimat yang indah. Sayangnya, karena bejibun tanpa ampun alias terlalu banyak, akhirnya kalimat itu kehilangan gregetnya. Sehingga, khalayak yang dituju tidak tertarik untuk mengetahui siapa yang mengucapkan.
Dari sisi pemasaran, ini jelas-jelas sebuah kegagalan –tidak ada istilah lain yang lebih tepat. Sementara itu, di sebuah
Di
Moral marketing juga kita temukan di iklan dan bungkus rokok, “Merokok dapat merusak kesehatan.” Moral marketing yang sama juga kita temukan di sepanjang jalan, “Kenakan helm standar demi keselamatan Anda,” atau “Dengan mengenakan sabuk pengaman, berarti Anda menyukseskan program pemerintah.” Kurang-lebih, yah, begitulah isinya.
Efektifkah moral marketing sedemikian? Halah, efektif dari mana? Terus-terang saja, bagi masyarakat lapisan mana pun, pernyataan-pernyataan di atas terasa hambar dan datar. Betul-betul jauh dari greget. Oleh karena itu, sekali-sekali tidak ada salahnya jika kalimat-kalimat konvensional tersebut diamandemen dengan kalimat-kalimat yang sedikit kontroversial. Yah, siapa tahu bisa lebih menggugah dan mengubah!
Ketika berada di jalan raya, tidak jarang seorang pria ngebut dan zig zag sesukanya. Dengan begitu, sering kali ia mengabaikan dan melalaikan keselamatannya sendiri. Iya ‘
Nah, di sini jelas-jelas moral marketing dengan
Di Singapura, warganya tidak dibolehkan mengemudi dalam keadaan mabuk. (Memangnya di negara mana yang boleh?) Lantas, pemerintah di
Bagaimana pula dengan imbauan untuk tidak merokok? Aha! Cobalah menjadikan artis-artis wanita yang tengah naik daun sebagai juru bicaranya, dengan kalimat, “Ah, saya tidak suka cowok yang merokok.” Unik dan menggelitik ‘
Memang, ini bukan jaminan bahwa konsumen akan patuh. Tetapi, moral marketing dengan cara anyar seperti itu barangkali lebih tokcer ketimbang cara usang berupa ancaman gangguan kesehatan yang selama ini terpampang di iklan dan bungkus rokok. Di sinilah letak tantangan moral marketing. Sebagai The Infinitive, mestinya Anda tidak sekadar mewartakan pesan-pesan yang bersifat mulia, tetapi Anda juga mesti menggodoknya agar mencolok dan menohok. Harus kreatiflah.
Pikirkan ini baik-baik saat Anda mengemas pesan-pesan untuk menegakkan keadilan, memberantas korupsi, membayar pajak, menyiptakan kota yang tertib, membangun daerah hinterland, memasyarakatkan internet, menjaga kebersihan, menjauhi minuman keras, mengatasi kekerasan dalam rumahtangga, menyantuni yatim-piatu, membantu korban bencana alam, dan lain-lain. Sekali lagi, bukan hanya pesan yang mulia, tetapi juga harus mencolok dan menohok. Bukan hanya gerakan moral, tetapi juga gebrakan moral. Hm, setuju?
* Ippho Santosa adalah Creative Marketer, Penerima MURI Award & Penulis Kitab 13 Wasiat Terlarang!
No comments:
Post a Comment