23 February 2009

ACARA TRADISIONAL YAQOWIYU



Ribuan warga dari berbagai daerah kemarin Jumat 13/2, berdesak-desakan saling berebut apem pada acara tradisional Yaqowiyu dilapangan sekitar Makam Ki Ageng Gribig, Jatinom Klaten.
Namun prosesi sebelum apem disebarkan kemarin, kamis 12/2 diadakan kirap Yaqowiyu diiringi suasana hujan setelah prosesi kirab gunungan apem diinapkan, baru pagi hari gunungan apem setelah Sholat Jumat gunungan apem diangkat ke lapangan untuk disebarkan ke pengunjung konon ceritanya apem Yaqowiyu dipercaya memiliki kelebihan mendatangkan berkah dan tolak balak.

Puncak acara dimulai dengan shalat Jumat bersama di Masjid Gedhe Jatinom. Selesai jumatan, gunungan lanang dikenal dengan nama Ki Kiyat dan gunungan wadon dikenal dengan nama Nyi Kiyat yang disemayamkan semalam di dekat Masjid, diarak menuruni tangga menuju panggung di tepi sungai tepatnya di sebelah selatan Masjid Gedhe Jatinom dan makam Ki Ageng Gribig.

Arak-arakan diawali dengan rombongan kesenian rodat, peraga Ki Ageng Gribig, Bupati, Muspida, kedua gunungan, putri domas, dan para pengawal.

Kemudian peraga Ki Ageng Gribig memimpin doa bersama. Selanjutnya, dia menyerahkan apem yang ditempatkan dalam panjang ilang (keranjang terbuat dari janur-Red) kepada Bupati Klaten H Haryanto.

Bupati mengawali upacara penyebaran dengan melempar apem dalam panjang ilang kepada pengunjung. Kemudian, petugas penyebar berada di dua menara segera mengikutinya dengan melemparkan ribuan apem. Ribuan pengunjung pun tanpa dikomando berebut apem, bahkan sampai terinjak kakinya atau bertabrakan gara-gara ingin menangkap apem.

2,5 Ton Apem

Suasana rebutan apem benar-benar meriah. Dalam waktu singkat apem 2,5 ton habis tak tersisa. Menurut Sukardi, pengunjung dari luar kota, dirinya sengaja datang untuk berebut apem. Sebab dia percaya apem itu bisa mendatangkan keberuntungan. Nanti, apem tersebut akan ditanam di dekat tempat usahanya agar tambah laris.

Menurut para sesepuh Jatinom, gunungan apem itu mulai diadakan sejak 1974, bersamaan dengan dipindahnya lokasi sebaran apem dari halaman Masjid Gedhe ke tempat sekarang. Sebelumnya, acara sebaran apem tidak menggunakan gunungan.

Penyusunan gunungan itu juga ada artinya, apem disusun menurun seperti sate 4-2-4-4-3 maksudnya jumlah rakaat dalam shalat Isa, Subuh, Zuhur, Asar, dan Magrib. Di antara susunan itu terdapat kacang panjang, tomat, dan wortel yang melambangkan masyarakat sekitarnya hidup dari pertanian. Di puncak gunungan terdapat mustaka (seperti mustaka masjid) yang di dalamnya berisi ratusan apem.

Ada perbedaan antara gunungan lanang dan wadon. Gunungan wadon lebih pendek dan berbentuk lebih bulat. Gunungan lanang lebih tinggi dan di bawahnya terdapat kepala macan putih dan ular.

Kedua hewan itu adalah kelangenan Ki Ageng Gribig. Macan diibaratkan Kiai Kopek yakni macan putih kesayangan Ki Ageng Gribig, sedangkan ular adalah Nyai Kasur milik Ki Ageng Gribig.

Mmm, tradisi kita emang unik ya...

2 comments:

Anonymous said...

Unik dan menggelitik,
dijaman modernisasi masih banyak warga yang punya pemikiran aneh dan kurang masuk akal.
Seperti dukun ponari yang katanya punya batu ajaib! koq ada yang percaya ya??
Apa dulu pas pelajaran di sekolah pada bolos jadi pada kagak tau
Batu bagus lah buat bangun rumah atau urug jalan biar gak becek, tapi dicelupin air trus bwt ngobatin penyakit ???? yang ada malah sakit perut karena gak hygine khan?!!

Entahlah, atau karena mahalnya akses kesehatan buwat masyarakat?
Enggak juga kali ya, toh sekarang pengobatan murah dan gratis banyak bermunculan.

Kesimpulane pola pikir kebanyakan masyarakat Indonesia masih primitif ya...
he he he

Anonymous said...

Itulah gambaran kaum kita, masih suka yang bau-bau klenik males ke langgar/masjid. Senin sore pas maghrib jama'ah Masjid kita Al Muttaqien cuma 7 orang itupun adzannya lik Narto terlambat (gimana KMB nih?), begitu isya' aku datang duluan masih kuncian manggil2 Agus sang juru kunci ndak denger baru Parjo datang tak suruh ngambil kunci & adzan yang datang cuma 4 orang jadi total berenam. Habis Isya' ngobrol ngalor ngidul di teras masjid sama Parjo, Narno Menik & Agus. Begitu pulang ketemu 3 orang gobrol diterasnya lik Parman, sengaja aku ndak nimbrung males.
Kondisi seperti ini hampir disemua langgar/masjid di seluruh Indonesia, termasuk langgar baru di dekat kos2anku di Badak (kebetulan aku juga jadi bendahara panitia pembangunannya). Langgar kukasih nama Al Muttaqien juga biar sama dgn yg dikampung & panitia yg lain pada setuju. Jika pendidikan agama kurang maka isu klenik akan cepat masuk.