05 April 2010

Selamatkan air, selamatkan hidup


Air adalah salah satu kebutuhan utama semua mahluk hidup di dunia. Namun ketersediaan air bersih ternyata semakin menyusut. Jumlah air bersih yang tersimpan di ceruk bumi (aquifer) darat, laut, dan atmosfir, yang sebenarnya terbatas, terus menerus berkurang jumlahnya. Di masa mendatang, air akan menjadi begitu berharga dan mungkin segera menjadi komoditas utama dunia dan berpotensi menjadi sumber konflik yang cukup serius. Bagi negara dunia yang berada di kawasan Timur Tengah dan Afrika, ketersediaan air bersih telah lama menjadi masalah. Namun kini negara lain dengan jumlah penduduk yang besar seperti China, India, dan Amerika Serikat juga mulai merasakan masalah yang serupa.

Badan Pertanian Dunia (FAO) telah memperingatkan bahwa setidaknya lima miliar jiwa akan hidup dalam daerah yang amat minim air bersih di tahun 2025. Lebih dari setengah penduduk dunia akan hidup dalam kekeringan, mengais ikan yang tersisa dan merambah wilayah pantai yang telah tercemar selama 50 tahun terakhir. Limbah yang tak terkendali dan kebijakan penanganan air yang buruk menjadi penyebab utama dari semua masalah ini, terutama yang terjadi di negara berkembang. Demikian laporan dari Badan Lingkungan PBB (UNEP, United Nations Environment Programme) yang bekerja sama dengan lebih dari 200 pakar sumber daya air dunia.

"Kini, lebih dari 10 juta orang di dunia kesulitan mengakses sumber air bersih. Hal ini menandakan krisis, " ujar Halifa Drammeh dari UNEP. Lembaga ini, yang sejak tahun 2003 mencanangkan program Tahun Internasional bagi Air Bersih (International Year of Freshwater) bagi penduduk dunia, melaporkan terjadinya penyusutan terumbu karang dan garis pantai dunia akibat perubahan cuaca. Beberapa negara berkembang juga akan mengalami krisis air, gagal panen dan konflik seputar masalah pengelolaan air sungai dan telaga bila tidak melakukan langkah penyelamatan terhadap salah-kelola irigasi dan tidak memperbaiki pola pengelolaan sumber air tawar mereka.

Berdasarkan data dari NASA dan WHO, dilaporkan temuan data akan terjadinya krisis air yang mempengaruhi sekitar 400 juta jiwa saat ini akan berdampak serius pada setidaknya 4 miliar jiwa di tahun 2050 nanti. Pengelolaan fasilitas sanitasi yang tak memadai akan berdampak buruk terjadap lebih dari 2,4 miliar prnduduk dunia, dan jumlah ini merupakan 40 persen dari jumlah umat manusia yang ada. Separuh kawasan pantai, tempat di mana lebih dari semiliar orang menggantungkan hidupnya, bakal menyusut akibat pengembangan yang berlebihan atau pencemaran lingkungan.

Bagi anak balita, penyakit yang disebabkan oleh air yang tercemar (muntaber, diare dan sebagainya) merupakan salah satu ancaman utama bagi mereka. WHO melaporkan bahwa setengah dari jumlah ranjang rumah sakit di negara berkembang dihuni penderita balita yang menderita serangan penyakit seperti ini.

Pulau Jawa kehausan
"Masalah utamanya sebenarnya bukanlah pada soal keterbatasan air semata, namun juga karena masalah kemiskinan," tutur pakar ekonomi yang juga ahli sumber daya air, Chuck Howe dari Universitas Colorado. Lebih jauh dia menjelaskan bila 90 persen dari semua persoalan ini terjadi di negara berkembang, karena itu pemicu semua masalah ini sesungguhnya bukanlah persoalan air semata, melainkan masalah kemiskinan.

Krisis air sendiri sebenarnya bukanlah hal yang baru bagi kita, karena di tahun 70-an, hal ini pernah mencuat sebagai isu utama dunia. Secara historis, masalah krisis air memang kurang bergema dibanding isu-isu lainnya yang dianggap lebih memikat seperti masalah ekonomi atau hak asasi. Namun pertumbuhan pesat penduduk dunia di era ini membuat masalah krisis air kembali menjadi perhatian utama dunia.

Beberapa masalah utama yang menandai terjadinya krisis air antara lain adalah tak tersedianya sumber air minum yang cukup saat ini bagi sekitar 1,1 miliar penduduk dunia. Kedua, pengambilan air tanah yang berlebihan ikut berperan bagi penyusutan lahan pertanian. Ketiga, polusi dan penggunaan mata air yang berlebihan mencederai keanekaragaman hayati yang ada. Keempat, mulai muncul berbagai konflik regional yang diakibatkan oleh berbagai kebijakan dan politisasi yang bersumber pada masalah penguasaan sumber air bersih.

Bagi kawasan lokal, seperti Pulau Jawa misalnya, krisis air yang membayang menjadi ancaman yang mencemaskan. Kekeringan mulai meresahkan para petani diberbagai sentra produksi padi. Lebih dari 800.000 hektar sawah di Pantura Jawa sudah puso dan ribuan hektar lainnya terancam gagal panen akibat kekurangan air. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika bahkan memperkirakan pada bulan Agustus, semua wilayah Indonesia akan mengalami kemarau panjang. Akibat kerusakan ekosistem hutan di berbagai wilayah ini, Pulau Jawa bisa mengalami defisit air empat kali setiap tahunnya. Menteri Negara Lingkungan Hidup bahkan telah menyatakan, di tahun 2005 Pulau Jawa telah mengalami defisit air 13 miliar meter kubik. Jumlah ini dipastikan terus bertambah setiap tahunnya.

Penyusutan air dan kekeringan yang berulang setiap tahunnya, tak saja karena fenomena alam, namun juga terjadi karena kerusakan lingkungan yang parah. Dibandingkan luas wilayah yang ada, hutan di Pulau Jawa hanya secuil 3.289.131 hektar. Dari jumlah ini, sekitar 1.714 juta hektar hutan . baik berupa hutan lindung atau hutan konservasi -berada dalam kondisi kritis. Kondisinya diperburuk dengan terseraknya lahan kritis di luar kawasan hutan, yang tahun ke tahun jumlahnya terus meningkat. Sumber di Balai Pemantapan Kawasan Hutan Jawa-Madura menyebutkan bahwa jumlah kawasan hutan yang harus dihijaukan mencapai 10.731 juta hektar, atau 84, 16 persen dari luas seluruh daratan Pulau Jawa. Dengan begitu, bisalah kita bayangkan bila di masa depan, Pulau Jawa akan semakin "kehausan". Dengan jumlah hutan yang minim, hanya sekitar 20 persen air hujan yang bisa diserap tanah. Sisanya mengalir percuma ke laut.

Padahal, menurut data di Kementrian Lingkungan Hidup, pada tahun 2003 saja, kebutuhan air di pulau terpadat se Indonesia ini sudah mencapai 38 milyar meter kubik. Bila air yang tersedia hanya sekitar 25,3 miliar meter kubik, terjadi defisit air bersih dalam jumlah yang cukup banyak, dalam satu periode saja.

No comments: