25 September 2009

Halal bil Halal, Tradisi yang Baik

Halal bilhalal adalah istilah yang tersusun dari tiga kata berbahasa Arab, halal- bi- halal. Jika kata halal diartikan ke dalam bahasa Indonesia dengan boleh maka halal bilhalal secara harfiah berarti boleh dengan boleh. Istilah halal bilhalal sendiri tidak dikenal dalam khazanah bahasa Arab bahkan tidak diajarkan oleh Rasulullah SAW, para sahabat dan generasi salafus shaleh.

Istilah dan tradisi halal bilhalal, menurut Ensiklopedi Islam, adalah asli Indonesia yang tidak diketahui siapa pencetusnya. Halal bilhalal mulai diselenggarakan dalam bentuk upacara sekitar akhir tahun 1940-an dan mulai berkembang luas setelah tahun 1950.
Kegiatan halal bilhalal sebenarnya tidak berbeda dengan silaturahim. Yang membedakan, di dalam halal bilhalal ada kewajiban untuk saling maaf-memaafkan dan bersalaman dalam sebuah acara yang khusus diselenggarakan untuk itu. Ini sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang memberikan definisi halal bilhalal sebagai Hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah Ramadhan, biasanya dadakan di sebuah tempat (auditorium, aula, dsb) oleh sekelompok orang.
Kini, halal bilhalal telah menjadi ritual yang sepertinya menjadi keharusan pascalebaran. Acara ini dilakukan mulai dari instansi-instansi swasta dan pemerintah, organisasi, hingga lingkungan rukun tetangga. Di ibukota, aktivitas hari pertama masuk kantor umumnya adalah halal bilhalal antara pimpinan dan karyawan, antara atasan dan bawahan. Ormas-ormas ke daerahan di ibukota juga menjadikan halal bilhalal sebagai agenda wajib di bulan Syawal.
Jika halal bilhalal diselenggarakan sebagai kegiatan silaturahim, tentu banyak manfaat dan pahala yang akan diperoleh. Rasulullah SAW menyatakan bahwa dengan bersilaturahmi maka para pelakunya akan dimurahkan jalan-jalan rezekinya dan dipanjangkan umurnya. Dalam praktiknya, biasanya inisiator, penyelenggara sekaligus sponsor penyelenggaraan halal bi halal berasal dari strata atas, kelompok elite, pimpinan kelompok, pimpinan sebuah instansi atau tokoh yang merasa banyak membuat kesalahan kepada bawahan atau pendukungnya. Halal bi halal juga dijadikan ajang untuk rekonsiliasi sehingga keharmonisan hubungan atas-bawah dan elite-masyarakat tetap terjaga bahkan diharapkan meningkat begitu pula kepentingan-kepentingan yang menempel di dalamnya. Hal ini, dalam batas-batas tertentu tentu merupakan sesuatu yang positif karena menjaga keharmonisan akan berdampak kepada kemashlahatan bawahan atau masyarakat luas.

Halal bihalal, dua kata berangkai yang sering diucapkan dalam suasana Idul Fitri, adalah satu dari istilah-istilah "keagamaan" yang hanya dikenal oleh masyarakat Indonesia. Istilah tersebut seringkali menimbulkan tanda tanya tentang maknanya, bahkan kebenarannya dari segi bahasa , walaupun semua pihak menyadari bahwa tujuannya adalah mencipakan keharmonisan antara sesama.


Hemat saya, paling tidak ada dua makna yang dapat dikemukakan menyangkut pengertian istilah tersebut, yang ditinjau dari dua pandangan. Yaitu, pertama, bertitik tolak dari pandangan hukum Islam dan kedua berpijak pada arti kebahasan.

Menurut pandangan pertama - dari segi hukum - kata halal biasanya dihadapkan dengan kata haram. Haram adalah sesuatu yang terlarang sehingga pelanggarannya berakibat dosa dan mengundang siksa, demikian kata para pakar hukum. Sementara halal adalah sesuatu yang diperbolehkan serta tidak mengundang dosa. Jika demikian, halal bihalal adalah menjadikan sikap kita terhadap pihak lain yang tadinya haram dan berakibat dosa. menjadi halal dengan jalan memohon maaf.

Pengertian seperti yang dikemukakan di atas pada hakikatnya belum menunjang tujuan keharmonisan hubungan, karena dalam bagian halal terdapat sesuatu yang dinamai makruh atau yang tidak disenangi dan sebaiknya tidak dikerjakan. Pemutusan hubungan (suami-istri, mislanya) merupakan sesuatu yang halal tapi paling dibenci Tuhan. atas dasar itu, ada baiknya makna halal bihalal tidak dikaitkan dengan pengertian hukum.

Menurut pandangan kedua - dari segi bahasa - akar kata halal yang kemudian membentuk berbagai bentukan kata, mempunyai arti yang beraneka ragam, sesuai dengan bentuk dan rangkaian kata berikutnya. Makna-makna yang diciptakan oleh bentukan-bentukan tersebut, antara lain, berarti "menyelesaikan problem", "meluruskan benang kusut", "melepaskan ikatan", dan "mencairkan yang beku".

Jika demikian, ber-hala bihalal merupakan suatu bentuk aktivitas yang mengantarkan pada pelakunya untuk meluruskan benag kusut, menghangatkan hubungan yang tadinya beku sehingga cair kembali, melepaskan ikatan yang membelenggu, serta menyelesaikan kesulitan dan problem yang menghadang terjalinnya keharmonisan hubungan. Boleh jadi hubungan yang dingin, keruh dan kusut tidak ditimbulkan oleh sifat yang haram. Ia menjadi begitu karena Anda lama tidak berkunjung kepada seseorang, atau ada sikap tidal adil yang Anda ambil namun menyakitkan orang lain, atau timbul keretakan hubungan dari kesalhpahaman akibat ucapan dan lirikan mata yang tidak disengaja. Kesemuanya ini, tidak haram menurut pandangan hukum, namun perlu diselesaikan secara baik; yang beku dihangatkan, yang kusut diluruskan, dan yang mengikat dilepaskan.

Itulah makna serta substansi halal bihalal, atau jika istilah tersebut enggan anda gunakan, katakanlah bahwa itu merupakan hakikat Idul Fitri, sehingga semakin banyak dan seringnya Anda mengulurkan tangan dan melapangkan dada, dan semakin parah luka hati yang Anda obati dengan memaafkan , maka semakin dalam pula penghayatan dan pengamalan Anda terhadap hakikat halal bihalal . Bentuknya memang khas Indonesia, namun hakikatnya adalah hakikat ajaran Islam.

Quraish Shihab dikutip dari buku "Lentera Hati": Kisah dan Hikmah Kehidupan", oleh M. Quraish Shihab, Penerbin Mizan, Maret 1995

dari berbagai sumber.

No comments: