30 September 2009

Memaknai Tradisi Syawalan


Sepekan usai merayakan hari kemenangan bernama Idul Fitri, umat Islam menggelar acara Syawalan atau Lebaran Ketupat.

Ketupat makanan khas di Hari Raya Idul Fitri Budaya Syawalan biasa disebut dengan Lebaran Ketupat. Orang Jawa menyebutnya dengan Lebaran Kopat atau acara Syawalan. Syawal merupakan nama sebuah bulan dalam kalender Islam. Tradisi ini bagi masyarakat Jawa sudah menjadi ritual rutin yang digelar sepekan setelah Idul Fitri atau setelah menjalankan puasa syawal selama enam hari. Secara harfiah, ketupat merupakan jenis makanan yang dibuat dari pembungkus pelepah daun janur berbentuk hati yang di dalamnya berisi beras yang sudah matang. Ketupat ini hanyalah merupakan bentuk simbolisasi yang bermakna hati putih yang dimiliki oleh seseorang yang kembali suci.

Ketupat dalam bahasa Jawa diterjemahkan dengan “Laku Lepat” yang di dalamnya mengandung empat makna yakni: lebar, lebur, luber dan labur. Lebar artinya luas, lebur artinya dosa/kesalahan yang sudah diampuni, luber maknanya pemberian pahala yang berlebih, dan labur artinya wajah yang ceria. Secara keseluruhan bisa dimaknai sebagai suatu keadaan yang paling bahagia setelah segala dosa yang demikian besar diampuni untuk kembali menjadi orang yang suci dan bersih.

Berbagai kelompok masyarakat di berbagai daerah mempunyai ciri dan caranya masing-masing dalam memaknai Lebaran Ketupat. Masyarakat yang tinggal di Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah misalnya. Sehari menjelang Lebaran Ketupat yang jatuh tiap tanggal 8 Syawal tiap tahunnya, mereka beramai-ramai menyerbu pasar-pasar untuk membeli berbagai keperluan bahan pembuat ketupat. Bila kita berkesempatan ke sana, setiap rumah pasti menyediakan ketupat ini.


Masyarakat Kaliwungu mengawali prosesi Lebaran Kopat atau Syawalan dengan mengunjungi atau menziarahi para makam ulama setempat atau tokoh agama yang sangat disegani dan dihormati, salah-satunya Kyai Asy’ari (Kyai Guru). Setibanya di makam tersebut mereka melakukan ritual keagamaan dengan cara melakukan doa bersama dan sekaligus memperingati wafatnya sang tokoh atau populer disebut dengan khoul. Koentjaraningrat dalam Kebudayaan Jawa (1984: 328) menerangkan bahwa salah satu tradisi dan budaya Islam Jawa yang masih hidup adalah adanya penghormatan kepada makam-makam orang suci, baik ulama atau kyai. Setelah doa selesai digelar, mereka bersama-sama menikmati hidangan yang telah tersedia dengan menu utama berupa hidangan ketupat yang dicampur dengan sayur dan lauk-pauknya.

Sementara masyarakat Desa Krapyak, Pekalongan Utara, Kota Pekalongan, Jawa Tengah memperingati Syawalan dengan cara membuat lopis raksasa seberat 5,5 kuintal dengan ketinggian dua meter berdiameter 150 cm. Tradisi ini sudah ada sejak tahun 1855 M yang pertama kali digelar oleh KH. Abdullah Sirodj yang merupakan keturunan dari Kyai Bahu Rekso. Acara ini digelar sebagai sarana untuk menciptakan kerukunan umat muslim di samping juga sebagai suatu media untuk syiar agama Islam. Ribuan warga rela berdesakan dan saling berebut untuk mendapatkan potongan lopis raksasa tersebut. Konon, siapa yang mendapatkan lopis tersebut akan mendapat berkah, di antaranya, bagi yang masih lajang dipercaya akan secepatnya memperoleh jodoh. Setiap tahun kue lopis semakin besar karena banyaknya warga yang terlibat.

Sedangkan, Masyarakat Jepara, Jawa Tengah menyebut Syawalan dengan Lomban. Prosesinya diawali dari kawasan tempat pelelangan ikan, Ujung Batu, Jepara. Di tempat tersebut masyarakat menyediakan sesaji berupa satu kepala kerbau yang dihiasi dengan pernak-pernik makanan dan sayuran. Setelah melakukan doa bersama yang dipimpin oleh seorang kyai, seluruh sesaji tersebut kemudian diletakkan di atas kapal kecil untuk dilarung di tengah laut. Pada saat itulah makanan sesaji itu menjadi rebutan bagi para nelayan atau masyarakat sekitar. Tradisi ini menurut warga setempat sebagai bentuk ungkapan syukur atas perlindungan dan berkat yang diterima warga Jepara selama satu tahun dan memohon perlindungan dan rezeki berlimpah untuk satu tahun mendatang.

Walau tradisi Syawalan identik dengan masyarakat Jawa, tapi di daerah lain di Indonesia ternyata terdapat juga budaya Syawalan ini. Warga Desa Mamala dan Desa Morela, Kecamatan Laihitu, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku misalnya. Mereka memiliki tradisi unik berupa ritual Pukul Sapu yang berlangsung sejak ratusan tahun silam dan dilaksanakan secara turun-temurun. Budaya ini digelar sebagai simbol kemenangan setelah melaksanakan ibadah puasa selama sebulan dan puasa 7 Syawal. Tradisi ini juga dimaknai sebagai peringatan untuk mengenang perang Kapahaha yang dipimpin Kapitan Achmad Leakawa alias Telukabessy pada zaman penjajahan dulu.

Tradisi Syawalan yang cukup unik justru terjadi di Palembang, Sumatera Selatan. Ratusan pengantin remaja asal Kayuagung ibukota Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) dengan iringan musik tanjidor melakukan kirab dengan berjalan kaki sejauh 5 km. Tradisi yang disebut dengan midang morge siwe ini konon telah digelar secara turun temurun oleh sembilan marga masyarakat Kayuagung. Tradisi ini memberikan pertanda telah berakhirnya status mereka sebagai seorang bujang dan gadis untuk diketahui secara luas oleh masyarakat setempat. Dengan status mereka yang baru tersebut sebagai pasangan suami istri, diharapkan tingkah laku mereka harus terjaga. ZAH (Berita Indonesia 60)

No comments: